Oleh Jarvis Lee |
Latihan militer gabungan Golden Dragon 2025 antara Tiongkok dan Kamboja baru-baru ini telah menarik perhatian dunia internasional terhadap meningkatnya kehadiran militer Tiongkok di Asia Tenggara.
Latihan militer tahun ini, yang berakhir pada 28 Mei, tidak hanya mencetak rekor dalam hal skalanya, tetapi untuk pertama kalinya juga memperluas operasi ke wilayah udara dan perairan lepas pantai sekitar Sihanoukville.
Selama latihan yang berlangsung dua pekan itu, Tiongkok menggunakan peralatan militer canggih, termasuk kapal angkut amfibi Tipe 071 Changbai Shan, helikopter serbaguna Z-20, anjing robot, serta drone pengintai dan penyerang.
Kapal perang amfibi Tipe 071 — yang mampu mengangkut hingga 800 marinir, 20 kendaraan lapis baja amfibi, dan empat helikopter — merupakan aset utama angkatan laut Tiongkok dalam operasi pendaratan skala besar dan pengerahan pasukan secara cepat.
![Tentara melakukan latihan tembak dengan amunisi asli selama latihan militer gabungan Tiongkok-Kamboja Golden Dragon 2025 pada bulan Mei [Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok]](/gc9/images/2025/05/30/50599-golden_dragon_2025-370_237.webp)
Menurut AFP, hampir 900 tentara Tiongkok dan lebih dari 1.300 prajurit Kamboja turut ambil bagian dalam latihan tersebut.
Latihan tersebut difokuskan pada operasi gabungan kontra-terorisme dan anti-pembajakan, menurut The Global Times, media pemerintah Tiongkok.
Kedua pihak melaksanakan latihan tembak dengan amunisi asli bersama unit terpadu dan, untuk pertama kalinya, menggunakan Pusat Dukungan dan Pelatihan Bersama Kamboja-Tiongkok yang baru saja diperbarui di Pangkalan Angkatan Laut Ream sebagai markas untuk latihan bersama udara-laut.
Latihan ini menandai pelaksanaan ketujuh dari rangkaian latihan Golden Dragon sejak tahun 2016 dan yang terbesar hingga saat ini.
"Tiongkok memang ingin memamerkan kekuatannya" dan mengirim pesan bahwa "mereka adalah kekuatan besar" melalui latihan ini, ujar analis politik Kamboja, Ou Virak, kepada AFP.
"Tiongkok memang sedang berusaha... memperluas pengaruhnya di kawasan ini," ujarnya.
“Selain sekadar memamerkan kekuatan, Tiongkok perlu membangun kepercayaan di antara mitranya untuk menyampaikan bahwa Tiongkok sedang berkembang, Tiongkok sedang memperluas pengaruh, dan Tiongkok juga semakin kuat, baik dari segi jumlah maupun kemajuan teknologi, serta kekuatan militer,” tambah Virak.
Strategi Beijing
Pusat yang baru saja diresmikan di Ream ini dianggap sebagai titik penting dalam upaya Tiongkok memperluas pengaruh militernya di luar negeri.
Terletak secara strategis di antara Laut Tiongkok Selatan dan Selat Malaka, Pangkalan Angkatan Laut Ream, bersama dengan perkembangan militer terbaru Tiongkok di Pulau Woody di Kepulauan Paracel dan Terumbu Mischief di Kepulauan Spratly, membentuk “segitiga strategis” potensial yang dapat mengepung kawasan tersebut saat terjadi krisis.
Meskipun pejabat Tiongkok menegaskan peningkatan pangkalan tersebut "tidak ditujukan kepada pihak ketiga manapun," dan Kamboja menegaskan konstitusinya melarang keberadaan pangkalan militer asing di wilayahnya, Amerika Serikat dan sekutunya tetap sangat khawatir Beijing tengah mempersiapkan fondasi bagi pangkalan militer jangka panjang.
Berdasarkan citra satelit yang dianalisis oleh AP, sejumlah kapal angkatan laut Tiongkok, termasuk korvet Tipe 056, bersandar di Pangkalan Angkatan Laut Ream selama berbulan-bulan pada tahun 2024, menandakan potensi Tiongkok untuk mempertahankan kehadiran militer dalam jangka panjang di sana.
Dalam wawancara bulan April dengan Radio Free Asia, ilmuwan politik Chong Ja Ian dari National University of Singapore menyatakan Tiongkok sedang mencari pijakan maritim untuk mengantisipasi kemungkinan dilakukannya blokade.
Jika Tiongkok berniat memperluas kekuatan maritimnya ke Laut Tiongkok Selatan, Kamboja dapat berperan sebagai pusat logistik atau suplai, tambahnya.
Buku Putih Pertahanan Tiongkok tahun 2019 juga menekankan pengembangan "kemampuan di laut dalam” serta pembangunan “pos suplai di luar negeri.”
Dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan mendukung pembangunan pelabuhan di sejumlah tempat seperti Kyaukpyu di Myanmar dan Djibouti di Afrika, kehadiran militer Tiongkok yang kian membesar di Kamboja memicu kekhawatiran bahwa hal ini bukan sekadar bentuk kerja sama, melainkan wujud nyata dari rencana penempatan strategis.