Masyarakat

Penutupan Institut Konfusius di Australia perbarui sorotan terhadap pengaruh Tiongkok

Penutupan enam Institut Konfusius di Australia mencerminkan kekhawatiran terhadap pengaruh ideologi Tiongkok dan pembatasan kebebasan berbicara.

Klaim Institut Konfusius untuk mempromosikan budaya Tiongkok dan bahasa Mandarin menuai kontroversi luas. [Lowy Institute for International Policy]
Klaim Institut Konfusius untuk mempromosikan budaya Tiongkok dan bahasa Mandarin menuai kontroversi luas. [Lowy Institute for International Policy]

Wu Qiaoxi |

Penutupan hampir setengah dari seluruh Institut Konfusius di Australia secara diam-diam menambah deretan panjang penutupan serupa di negara Barat, yang telah lama menuduh lembaga yang didanai pemerintah Tiongkok itu sebagai alat propaganda Beijing.

Menurut laporan Australian Broadcasting Corporation (ABC) pada 1 April, enam dari 13 Institut Konfusius di Australia — termasuk yang berada di University of Melbourne — tidak memperpanjang kontrak kerja sama mereka.

Alasan resmi yang dikemukakan mencakup dampak pandemi COVID-19 serta berkembangnya program bahasa Mandarin internal di universitas. Menurut salah satu universitas, tidak ada lagi kebutuhan untuk memperpanjang kerja sama tersebut.

Namun, dosen senior dari Flinders University, Jeffrey Gil, mengatakan kepada ABC bahwa memburuknya hubungan Australia–Tiongkok dan kekhawatiran akan campur tangan asing kemungkinan turut memengaruhi keputusan tersebut.

"Kekhawatiran terhadap keberadaan Institut Konfusius di Australia sudah berlangsung lama, dan semakin menguat seiring memburuknya hubungan antara Australia dan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir. Institut Konfusius juga ditutup di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa,” ujar Gil, dosen pengajar Bahasa Inggris untuk Penutur Bahasa Lain (ESOL).

"Berbagai faktor ini membuat keberadaan Institut Konfusius semakin tidak diminati dan kurang layak untuk dilanjutkan secara operasional di Australia," lanjut Gil. Dia menambahkan bahwa kekhawatiran pemerintah terhadap intervensi asing kemungkinan menjadi salah satu pertimbangan utama universitas enggan memperpanjang kerja sama tersebut.

Banyak kritik

Institut Konfusius, lembaga yang didanai pemerintah Tiongkok dan bermitra dengan universitas luar negeri untuk mempromosikan bahasa dan budaya Tiongkok, menuai banyak kritik dalam beberapa tahun terakhir.

Berbeda dengan lembaga budaya Barat seperti British Council, Institut Konfusius ditempatkan langsung di dalam kampus, sementara Tiongkok menyuplai dana, tenaga pengajar, dan materi ajar — sehingga memungkinkan integrasi cepat ke lingkungan akademik setempat.

Seiring meningkatnya jumlah Institut Konfusius dalam dua dekade terakhir, kekhawatiran terhadap agenda politiknya pun meningkat. Para pengkritik menuduh institusi ini menyebarkan ideologi Partai Komunis Tiongkok (PKT), membatasi diskusi terbuka, dan bahkan mengawasi mahasiswa Tiongkok di luar negeri.

Dalam wawancara dengan BBC pada 2014, Xu Lin, Direktur Jenderal kantor pusat Institut Konfusius sejak 2004, secara gamblang menyatakan tujuan dari lembaga ini.

"Tujuan Institut Konfusius adalah mengekspor nilai-nilai Partai Komunis Tiongkok ke institusi akademik luar negeri," ujarnya kala itu.

Human Rights Watch menguatkan kekhawatiran tersebut dalam laporannya pada 2019. Laporan itu menyebut bahwa “Institut Konfusius merupakan perpanjangan tangan pemerintah Tiongkok yang menyensor topik dan pandangan tertentu dalam materi ajar atas dasar pertimbangan politik, serta menerapkan praktik perekrutan yang memperhatikan loyalitas politik.”

Pada 2020, Tiongkok mengubah struktur Institut Konfusius menjadi model lembaga amal swasta untuk mengaburkan status resminya, namun kontroversi tetap berlanjut.

Laporan UK-China Transparency tahun 2023 mengungkap bahwa staf Institut Konfusius direkrut “berdasarkan kemampuan mereka menegakkan ‘disiplin PKT’ di Inggris” dan “wajib membungkam kebebasan berbicara serta melakukan intimidasi atas perintah.”

Kemunduran global

Banyak negara Barat mengambil langkah untuk membatasi atau menutup Institut Konfusius di negara mereka.

Australia melarang pendirian Institut Konfusius baru pada 2022.

Sumber dari pemerintah Australia mengatakan kepada ABC bahwa pejabat tinggi menyampaikan dengan sangat jelas kepada universitas bahwa Institut Konfusius merupakan “masalah” yang “harus dikelola secara hati-hati.”

Amerika Serikat juga mengambil langkah tegas. Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional (NDAA) 2019 melarang Departemen Pertahanan mendanai universitas yang menjadi tuan rumah Institut Konfusius, yang berujung pada penutupan lebih dari 100 program tersebut. Saat ini, hanya lima yang tersisa.

Kanada, Swedia, Swiss, dan Jerman juga melakukan hal serupa dengan menutup banyak Institut Konfusius di wilayah mereka.

Hingga akhir 2023, terdapat 498 Institut Konfusius yang beroperasi di lebih dari 160 negara. Namun seiring kemerosotan di Eropa dan Amerika Utara, Tiongkok kini mengalihkan fokusnya ke Asia Tenggara.

Kini terdapat 42 Institut Konfusius di negara ASEAN, bertambah sembilan sejak 2021. Thailand mencatatkan jumlah terbanyak, dengan 16 institut.

Ian Chong, ilmuwan politik dari National University of Singapore, menjelaskan dalam wawancaranya dengan Nikkei Asia pada Mei lalu, alasan Asia Tenggara lebih menerima keberadaan Institut Konfusius.

Banyak negara di kawasan ini, ujarnya, masih enggan menentang Tiongkok secara terbuka.

"Banyak negara di wilayah ini masih bersifat otoriter atau baru mulai bergerak menuju demokratisasi dalam dua puluh tahun terakhir," jelas Chong. "Akibatnya, pemahaman dan komitmen terhadap kebebasan akademik masih terbatas, begitu pula kesadaran akan tantangan yang bisa ditimbulkan oleh Institut Konfusius."

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *