Masyarakat

Taiwan di bawah ancaman perang: di tengah kecemasan dan seruan bersiaga

Di tengah tekanan Tiongkok yang kian meningkat, Taiwan bergulat menentukan arah, antara seruan rekonsiliasi dan semangat kesiapan perang yang dipelopori generasi muda.

Tentara Taiwan berpartisipasi dalam latihan siaga perang di Kaohsiung pada 6 Januari 2021, di tengah meningkatnya kekhawatiran atas eskalasi ancaman dari Tiongkok. [Daniel Ceng Shou Yi/Controluce via AFP]
Tentara Taiwan berpartisipasi dalam latihan siaga perang di Kaohsiung pada 6 Januari 2021, di tengah meningkatnya kekhawatiran atas eskalasi ancaman dari Tiongkok. [Daniel Ceng Shou Yi/Controluce via AFP]

Oleh Wu Ciaoxi |

Ancaman militer dan perang kognitif Tiongkok yang kian meningkat telah menciptakan spektrum persepsi perang yang kompleks di Taiwan, saat warga terus mempertimbangkan pilihan mereka di tengah kecemasan, tekad, dan seruan untuk penyatuan damai.

Baru-baru ini, mantan menteri kebudayaan Taiwan, penulis Lung Ying-tai, menulis artikel opini di The New York Times, memperingatkan, "Jam terus berdetak untuk Taiwan." Dia menyuarakan perlunya rekonsiliasi dengan Tiongkok dan memperingatkan "rasa aman palsu" di Taiwan yang berasal dari "ketergantungan sepenuhnya pada Amerika Serikat."

Lung mengutip jajak pendapat informal terhadap mahasiswa perguruan tinggi di Taiwan, juga menyebutkan perang Ukraina, di mana "Sebagian besar [responden] memilih untuk menyerah." Oleh karenanya, dia mendorong Presiden Lai Ching-te, untuk menghindari "pemberian label yang provokatif pada Tiongkok sebagai musuh."

Pernyataan Lung, yang bagi banyak orang dianggap sebagai "sikap menyerah yang dibungkus manis," mendapat kritik tajam. Cendekiawan politik Chen Fang-yu menantangnya di Facebook, memintanya untuk "menyebutkan satu negara yang berhasil berekonsiliasi dengan kediktatoran dan masih menjaga perdamaian," dan mempertanyakan mengapa dia tidak langsung menyerukan untuk menyerah begitu saja.

Intimidasi militer Tiongkok terhadap Taiwan yang kian mencekam tampak jelas dalam iklan terbaru di bandara dengan slogan 'Reunifikasi.' Meningkatkan kecemasan akan potensi invasi ke Taiwan. [Youtube]
Intimidasi militer Tiongkok terhadap Taiwan yang kian mencekam tampak jelas dalam iklan terbaru di bandara dengan slogan 'Reunifikasi.' Meningkatkan kecemasan akan potensi invasi ke Taiwan. [Youtube]
Potret keteguhan publik di Taiwan (1998–2025). Dalam jajak pendapat oleh American Portrait Survey pada bulan Maret, 63,7% warga Taiwan mengungkapkan kesediaannya untuk melawan invasi Tiongkok, mencerminkan komitmen yang tetap teguh di tengah berubah-ubahnya ketegangan regional. [The Diplomat]
Potret keteguhan publik di Taiwan (1998–2025). Dalam jajak pendapat oleh American Portrait Survey pada bulan Maret, 63,7% warga Taiwan mengungkapkan kesediaannya untuk melawan invasi Tiongkok, mencerminkan komitmen yang tetap teguh di tengah berubah-ubahnya ketegangan regional. [The Diplomat]

Pengacara Lin Chih-chun juga menulis di Facebook, mengingatkan rekonsiliasi tidak mempersembahkan demokrasi ke Hong Kong. Menggunakan metafora zebra-singa, dia mengatakan rekonsiliasi dengan rezim otoriter sebagai kesalahan fatal akibat ketidakseimbangan kekuatan. "Rekonsiliasi itu tak ubahnya seperti zebra yang tergeletak di tanah sementara singa terus mencabiknya tanpa ampun," kata Lin.

Dalam artikel di The Diplomat tanggal 9 April, cendekiawan Wu Wen-chin dan Pan Hsin-hsin membantah tulisan Lung, menekankan beberapa survei kredibel menunjukkan lebih dari setengah pemuda Taiwan yang berusia 18 hingga 30 tahun siap untuk berperang demi Taiwan. Sebuah jajak pendapat bulan Maret menunjukkan 63,7% warga Taiwan akan melawan invasi "dengan segala cara."

"Tiongkok pasti ingin menginvasi Taiwan. Saya yakin mereka pada akhirnya akan menyerang -- jadi kami akan melawan mereka. Siapa yang takut kepada siapa?" kata "Xiao Guo," penduduk asli Taiwan yang ayahnya melarikan diri dari Tiongkok setelah kemenangan partai Komunis, dalam wawancara dengan Focus. Dia meminta untuk menggunakan nama samaran.

Guo pun merasakan perlakuan pemerintahan Tiongkok saat dewasa selama bekerja di sana selama satu dasawarsa.

Dia mengungkapkan kekhawatiran tentang "kolom kelima" yang rentan terhadap pengaruh dan "cuci otak" pihak Tiongkok.

Di platform media sosial Threads, pengguna muda yang kritis terhadap Partai Progresif Demokrat yang berkuasa baru-baru ini mengklaim bahwa di bawah pemerintahan Tiongkok, "selain kebebasan berbicara yang lebih terbatas, segala sesuatu lainnya akan lebih baik." Postingan tersebut segera mendapatkan 150.000 komentar.

Walaupun sebagian besar komentar bernuansa sarkastis atau sangat menentang, postingan itu masih mencerminkan bagaimana narasi pro-unifikasi menciptakan kesan mendalam dengan kelompok-kelompok tertentu.

Seorang pengguna membandingkan menolak ancaman dari Tiongkok dengan menolak keberadaan musuh Harry Potter, Voldemort, dengan tidak pernah menyebutkan namanya.

Kekhawatiran terbesar pengguna tersebut adalah apakah anak-anaknya dapat tumbuh dan menua dalam kebebasan.

Ancaman yang semakin meningkat dari Beijing

Belakangan ini, Tiongkok telah meningkatkan intimidasi verbal dan militer terhadap Taiwan. Hal ini terlihat dari poster-poster di bandara Beijing yang menampilkan poster merah mencolok bertuliskan "Reunifikasi" dan "Reunifikasi nasional sudah dekat."

Sejumlah iklan yang disponsori oleh People's Daily ini, yang dengan cepat beredar secara online, telah meningkatkan kecemasan tentang tekanan strategis dan psikologis dari Beijing. Banyak orang di Taiwan khawatir memburuknya krisis ekonomi domestik dapat memberi keberanian kepada Tiongkok untuk melancarkan serangan militer terhadap pulau tersebut.

"Saya tidak takut perang — saya lebih takut dengan infiltrasi Tiongkok yang tak terbendung," kata Joan, seorang terapis konseling yang berkantor di Taipei, kepada Focus, menyoroti sisi lain dari ancaman tersebut.

Joan, yang menolak untuk memberikan nama lengkapnya, mendukung pertahanan yang kuat, menekankan "melawan secara terbuka dan dengan integritas," serta menyebutkan kampanye memecat anggota legislatif Taiwan yang pro-Tiongkok sebagai taktik yang penting.

Joan menekankan perbedaan nilai mendasar antara Taiwan dan Tiongkok. "Rakyat Tiongkok iri dengan kebebasan kita. Keberadaan kita adalah provokasi terbesar bagi Tiongkok," katanya.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *