Oleh Shirin Bhandari |
Penangkapan terbaru sejumlah warga negara Tiongkok terkait tuduhan spionase di Filipina telah memicu kekhawatiran atas luasnya operasi intelijen Tiongkok di negara tersebut.
Pada bulan April, polisi Filipina menangkap seorang warga negara Tiongkok di dekat kantor Komisi Pemilihan Umum (COMELEC) di Manila yang kedapatan membawa perangkat International Mobile Subscriber Identity (IMSI) catcher, alat yang mampu menyadap sinyal ponsel.
Penemuan tersebut meningkatkan kekhawatiran akan campur tangan asing dalam proses politik negara itu, dengan para pejabat memperingatkan bahwa aktivitas pengawasan tersebut dapat membahayakan integritas pemilu jangka menengah pada tanggal 12 Mei.
Kekhawatiran semakin meningkat ketika polisi menangkap dua warga negara Tiongkok lainnya dengan peralatan serupa di Bulacan, hanya tiga hari sebelum pemungutan suara berlangsung.
![Peralatan spionase yang disita, termasuk perangkat IMSI catcher, diperlihatkan di kantor NBI di Manila pada 25 Februari. [Ted Aljibe/AFP]](/gc9/images/2025/05/16/50430-afp__20250225__36yl2tx__v1__highres__philippineschinaespionagesecurityarrest-370_237.webp)
Pihak berwenang mengumumkan mereka akan mengajukan tuntutan terhadap para tersangka berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Siber.
Pada bulan Maret, otoritas Filipina menangkap enam warga negara Tiongkok dan seorang warga Filipina di Teluk Subic karena diduga menggunakan drone untuk memata-matai aset angkatan laut di dekat Pulau Grande.
Para tersangka menyamar sebagai nelayan saat melakukan pengawasan di zona militer yang sensitif, kata pejabat kepolisian.
Sementara itu, Presiden Ferdinand Marcos Jr. pada bulan Januari menyatakan keprihatinan atas penangkapan lima pria Tiongkok di Palawan pada bulan yang sama, yang diduga sedang memantau jalur Penjaga Pantai dan fasilitas militer menggunakan peralatan pengawasan waktu nyata.
"Kami sangat terganggu oleh siapa pun yang melakukan operasi spionase semacam itu terhadap militer kami," kata Marcos.
Operasi spionase yang meluas
Penangkapan terbaru ini terjadi di tengah panjangnya sejarah dugaan spionase Tiongkok di Filipina.
Warga negara Tiongkok yang terkait dengan Partai Komunis Tiongkok telah dituduh menyumbang kepada lembaga pemerintah dan pasukan polisi lokal dalam apa yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai upaya untuk mempengaruhi.
Sementara itu, peretas yang didukung pemerintahan Tiongkok terus-menerus menargetkan lembaga pemerintah dan infrastruktur penting di Filipina.
Setelah ketegangan tahun 2012 terkait Scarborough Shoal, berbagai badan pemerintah Filipina, termasuk Kementerian Luar Negeri dan Kantor Presiden, mengalami lonjakan serangan siber.
Analis keamanan telah mengaitkan penyusupan ini dengan unit siber Tiongkok yang terhubung dengan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).
Kementerian Teknologi Informasi dan Komunikasi telah mengonfirmasi sejumlah serangan yang berasal dari alamat IP Tiongkok, yang menargetkan komunikasi militer, layanan air, dan sistem energi.
Philippine Offshore Gaming Operators (POGO), yang menyediakan layanan judi online ke pasar di luar negeri dan sering mempekerjakan pekerja Tiongkok, telah menjadi titik perhatian utama.
Pada bulan Juli lalu, Presiden Marcos Jr. mengumumkan larangan terhadap semua POGO di Filipina, dengan alasan kekhawatiran terkait keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan kriminal.
Beberapa POGO diduga menjadi kedok untuk personel pensiunan PLA yang menyamar sebagai warga sipil, kata pihak berwenang. Berbagai tempat ini, yang terkadang terletak di dekat pangkalan militer dan infrastruktur penting di daerah seperti Clark, Subic, dan Taguig, memicu kekhawatiran di kalangan pejabat pertahanan.
Beberapa POGO telah ditutup, tetapi banyak yang sekarang beroperasi secara sembunyi-sembunyi, memicu perdebatan yang tiada habisnya mengenai risiko keamanan nasional dan pengaruh asing.
Menindak tegas
Tiongkok telah membantah semua tuduhan spionase, menyebutnya sebagai tuduhan yang bermotif politik.
Namun, mengingat ancaman yang dirasakan, pihak berwenang telah memperketat keamanan di beberapa lokasi vital seperti Istana Malacañang.
House Assistant Majority Leader, Jay Khonghun, pada bulan Maret menuntut langkah keamanan yang lebih ketat untuk instalasi militer dan kedutaan, mengingat intelijen asing "mungkin sudah sangat tertanam" dalam infrastruktur keamanan Filipina.
Menteri Pertahanan, Gilberto Teodoro Jr., mendesak para legislator untuk mengesahkan perubahan kebijakan yang mengkriminalisasi spionase di masa damai. Undang-undang spionase yang berlaku saat ini, yang hanya diterapkan selama masa perang, sudah ketinggalan zaman, kata Teodoro tahun lalu.
"Yang penting sekarang adalah, kita memberikan sanksi untuk spionase di masa damai," kata Teodoro dalam sebuah wawancara, menekankan urgensi untuk memodernisasi legislasi keamanan nasional guna menghadapi ancaman yang muncul.