Energi

Jepang melihat keunggulan strategis panel surya ultra-tipis di tengah dominasi Tiongkok

Tiongkok menguasai lebih dari 80% rantai pasokan energi surya global, dari produksi bahan baku utama hingga perakitan modul.

Panel surya perovskit dipajang di Balai Kota Okuma di Fukushima, Jepang, pada 24 April. Jepang berinvestasi besar-besaran di teknologi surya baru yang ultra-tipis dan fleksibel ini, untuk mencapai target energi terbarukannya dan menantang dominasi pasar Tiongkok. [Richard A. Brooks/AFP]
Panel surya perovskit dipajang di Balai Kota Okuma di Fukushima, Jepang, pada 24 April. Jepang berinvestasi besar-besaran di teknologi surya baru yang ultra-tipis dan fleksibel ini, untuk mencapai target energi terbarukannya dan menantang dominasi pasar Tiongkok. [Richard A. Brooks/AFP]

Oleh AFP dan Focus |

TOKYO -- Jepang berinvestasi besar-besaran di panel surya ultra-tipis dan fleksibel jenis baru untuk memenuhi target energi terbarukan sekaligus menantang dominasi Tiongkok di sektor ini.

Panel perovskit yang lentur sangat cocok untuk pegunungan di Jepang, yang kekurangan lahan datar untuk PLTS tradisional. Salah satu komponen utamanya, yodium, merupakan bahan yang paling banyak diproduksi di Jepang dibandingkan negara lain, kecuali Chili, sehingga bisa diproduksi dalam negeri.

Teknologi ini masih memiliki kendala. Panel perovskit mengandung timbal beracun, menghasilkan daya rendah, dan masa pakainya lebih pendek dibandingkan panel silikon.

Namun, untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050 dan mematahkan supremasi energi surya Tiongkok, Jepang melihat nilai strategisnya.

Pekerja di fasilitas produksi panel surya di Kawasan Pengembangan Ekonomi Ganyu, Lianyungang, Tiongkok, pada 5 Februari. [Costfoto/NurPhoto via AFP]
Pekerja di fasilitas produksi panel surya di Kawasan Pengembangan Ekonomi Ganyu, Lianyungang, Tiongkok, pada 5 Februari. [Costfoto/NurPhoto via AFP]
Yukihiro Kaneko, peneliti di Panasonic, memegang panel perovskit saat diwawancarai AFP di laboratorium University of Tokyo pada 14 April. [Kazuhiro Nogi/AFP]
Yukihiro Kaneko, peneliti di Panasonic, memegang panel perovskit saat diwawancarai AFP di laboratorium University of Tokyo pada 14 April. [Kazuhiro Nogi/AFP]

Sel perovskit adalah "peluang terbaik kami untuk mencapai dekarbonisasi dan daya saing industri," ujar Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Yoji Muto bulan November lalu. "Kami harus berhasil menerapkannya di masyarakat dengan segala cara."

Pemerintah menggelontorkan insentif guna mempercepat penggunaan, termasuk subsidi sebesar ¥157 miliar ($1 miliar) kepada Sekisui Chemical untuk pabrik yang diharapkan dapat memproduksi cukup banyak panel surya untuk menghasilkan 100MW pada 2027 -- cukup untuk melistriki 30.000 rumah tangga.

Pada 2040, Jepang berencana memasang panel perovskit yang mampu menghasilkan 20GW, setara 20 reaktor nuklir. Ini mendukung target 50% kebutuhan listrik dari sumber terbarukan pada tahun tersebut.

Jepang juga menargetkan tenaga surya -- meliputi sel perovskit dan silikon -- memasok hingga 29% kebutuhan listriknya, naik dari 9,8% pada 2023.

"Untuk meningkatkan produksi energi terbarukan dan mencapai netralitas karbon, kita harus memobilisasi semua teknologi yang tersedia," kata Hiroshi Segawa, spesialis teknologi surya di University of Tokyo.

"Panel surya perovskit dapat dibuat di dalam negeri, mulai dari bahan baku, produksi, hingga pemasangan. Dengan demikian, panel surya perovskit dapat berkontribusi signifikan terhadap ketahanan energi dan ketahanan ekonomi," ujarnya kepada AFP.

Memaksimalkan energi terbarukan

Panel surya silikon terbuat dari wafer tipis yang dibentuk menjadi sel yang menghasilkan listrik.

Sel silikon harus dilindungi lembaran kaca dan rangka logam, sehingga produk akhirnya menjadi berat dan tidak praktis. Sementara sel surya perovskit dibuat dengan mencetak atau mengoleskan bahan seperti yodium dan timbal ke permukaan film atau kaca.

Ketebalan produk akhir hanya 1 mm dengan 1/10 berat sel surya silikon konvensional.

Panel perovskit yang lentur dapat dipasang pada permukaan yang tidak rata dan melengkung, kontur dominan di Jepang yang 70% wilayahnya berupa pegunungan.

Panel itu sudah dipakai di beberapa proyek, termasuk gedung 46 lantai di Tokyo yang akan rampung pada tahun 2028.

Kota Fukuoka di barat daya menyatakan akan melapisi stadion bisbol berkubah dengan panel perovskit.

Dan merek elektronik besar Panasonic mencoba mengintegrasikan perovskit ke kaca jendela.

"Bayangkan jika semua jendela itu dilengkapi sel surya," kata Yukihiro Kaneko, Manajer Utama departemen pengembangan perovskit fotovoltaik Panasonic, sambil menunjuk ke gedung tinggi berlapis kaca di sekeliling kantornya di Tokyo.

Hal itu memungkinkan produksi listrik di tempat konsumsinya, dan mengurangi beban jaringan listrik nasional, Kaneko menambahkan.

Meskipun panel perovskit masih jauh dari produksi massal, teknologinya berkembang pesat. Beberapa prototipe bekerja hampir sebagus panel silikon, dan daya tahannya diperkirakan akan mencapai 20 tahun dalam waktu dekat.

Jepang dapat memiliki kapasitas 40GW dari perovskit pada 2040, sementara teknologi tersebut dapat mempercepat perkembangan energi terbarukan di tempat lain, kata Segawa.

"Intinya bukan soal silikon atau perovskit, tetapi memaksimalkan kemampuan kita untuk memanfaatkan energi terbarukan," tambahnya.

"Jika Jepang berhasil, model itu dapat diadopsi oleh dunia."

Cengkeraman Tiongkok

Tokyo berusaha menghindari terulangnya naik turun bisnis tenaga surya Jepang di masa lalu.

Pada awal 2000-an, panel surya silikon buatan Jepang menguasai hampir separuh pasar global.

Sekarang, Tiongkok menguasai lebih dari 80% rantai pasokan solar global, dari produksi bahan baku utama hingga perakitan modul.

Pada tahun 2024, 94,9% panel surya Jepang diimpor -- sebagian besar dari Tiongkok -- menurut Photovoltaic Energy Association, seperti dikutip Sankei Shimbun.

Dominasi Tiongkok di sektor ini menimbulkan kekhawatiran keamanan.

Jepang pada bulan Mei meluncurkan penyelidikan panel surya buatan Tiongkok karena khawatir panel itu dilengkapi perangkat komunikasi tersembunyi yang dapat mengganggu jaringan listrik negara itu, dilaporkan South China Morning Post (SCMP).

Penyelidikan itu menyusul temuan pihak berwenang Amerika Serikat dan Eropa, yang mengungkap komponen komunikasi tersembunyi di inverter surya Tiongkok.

Itu dapat digunakan untuk akses jarak jauh ilegal, menembus tembok api keamanan, dan dapat mengganggu infrastruktur energi nasional, kata para analis.

Menanggapi hal itu, pemerintah Jepang kini sedang memeriksa apakah komponen serupa terdapat pada panel impor yang dijual di Jepang.

"Sudah lama sekali pemerintah Jepang tidak memiliki kebijakan nyata terkait impor, jadi ini semacam peringatan," ujar Toshimitsu Shigemura, pakar politik di Waseda University di Tokyo, kepada SCMP.

"Saya yakin mereka sangat khawatir dan akan menyelisik panel surya impor ini dengan sangat saksama," katanya.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *