Oleh Li Xianchi |
Australia dan Vanuatu telah menandatangani kesepakatan penting senilai AUD$500 juta (sekitar US$326,5 juta) untuk memperkuat pembangunan ekonomi dan kerja sama keamanan—sebuah langkah yang dipandang luas sebagai penyeimbang terhadap meningkatnya pengaruh Tiongkok di kawasan Pasifik.
Pakta yang dinamakan Perjanjian Nakamal ini akan menyalurkan dana Australia ke Vanuatu selama 10 tahun ke depan, mencakup ketahanan iklim, pembangunan infrastruktur, dukungan keamanan, mobilitas tenaga kerja, hingga bantuan anggaran.
Penandatanganan resmi oleh Perdana Menteri Vanuatu Jotham Napat dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dijadwalkan berlangsung September mendatang, menurut BBC.
Wakil Perdana Menteri Australia Richard Marles menyebut terobosan ini sebagai langkah “transformasional” yang menegaskan eratnya hubungan kedua negara.
![Wakil Perdana Menteri Australia Richard Marles (kiri) menyerahkan sebuah sepatu kepada Perdana Menteri Vanuatu Jotham Napat (tengah) di Pulau Tanna, Vanuatu, 13 Agustus. [Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia]](/gc9/images/2025/08/20/51615-au-vu_meeting-370_237.webp)
“Perjanjian ini pada dasarnya mengakui kenyataan yang sudah lama ada: sebagai dua bangsa, kita adalah keluarga, dan masa depan kita saling terkait,” kata Marles dalam konferensi pers di Pulau Tanna.
Nada serupa disampaikan Perdana Menteri Napat yang menyebut kesepakatan ini sebagai “win-win” bagi kedua negara. “Perjanjian ini akan membawa banyak manfaat perdagangan antara kedua negara, baik di bidang keamanan, transformasi ekonomi, maupun mobilitas tenaga kerja,” ujarnya kepada para wartawan dalam konferensi pers yang sama.
Pakta baru ini menandai kebangkitan setelah kesepakatan keamanan Australia–Vanuatu tahun 2022 gagal diwujudkan, karena dibatalkan mendadak oleh perdana menteri Vanuatu saat itu akibat kekhawatiran soal keamanan, menurut Australian Broadcasting Co. (ABC).
Kali ini, pakta tersebut telah mendapat dukungan penuh dari Dewan Keamanan Nasional dan Dewan Menteri Vanuatu, sehingga memiliki pijakan yang lebih kokoh.
“Perbedaan utamanya ada pada prosesnya,” kata analis Pasifik Tess Newton Cain kepada ABC, seraya menambahkan komitmen luas di bidang ekonomi dan iklim membuat kesepakatan ini lebih tahan uji dibanding upaya sebelumnya.
Dorongan baru untuk iklim dan keamanan
Vanuatu, salah satu negara paling rentan terhadap risiko iklim, akan menerima pendanaan khusus untuk kesiapsiagaan bencana dan pembangunan kembali infrastruktur. Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menekankan visi jangka panjang: “Hal paling penting dari perjanjian ini adalah posisi kita dalam tiga, lima, bahkan sepuluh tahun ke depan.”
Kesepakatan ini juga memperkuat institusi keamanan Vanuatu, termasuk Kepolisian dan Unit Maritim, yang menghadapi ancaman meningkat dari bencana iklim hingga praktik penangkapan ikan ilegal, menurut ASPI Strategist.
Sebelumnya, Australia telah memberikan bantuan melalui perbaikan barak, dukungan patroli laut, serta pelatihan di bawah Program Kerja Sama Pertahanan. Dengan Perjanjian Nakamal, Canberra berkomitmen menyediakan tambahan bantuan keamanan sebesar AUD$100 juta (sekitar US$64,5 juta).
Walau perjanjian ini tidak memberi Australia hak veto atas hubungan Vanuatu dengan kekuatan lain, tujuan utamanya adalah menegaskan Canberra sebagai “mitra pilihan” Vanuatu di bidang keamanan. Seperti ditulis analis Blake Johnson dan Astrid Young di ASPI Strategist: “Kesepakatan dengan Australia ini menegaskan pentingnya kemitraan tersebut sekaligus menunjukkan kemampuan Australia untuk mendengar dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan tetangganya di Pasifik.”
Namun, ada isu krusial yang belum terselesaikan: permintaan Vanuatu agar warganya bisa bepergian bebas visa ke Australia. Isu ini cukup sensitif secara politik di Port Vila. Napat secara terbuka mendesak Canberra memberi kelonggaran, menyatakan isu ini memiliki bobot penting di dalam negeri. Walau bebas visa tampaknya belum mungkin, kedua belah pihak menyatakan bersedia mencari opsi pelonggaran aturan perjalanan lainnya.
Mengimbangi langkah Tiongkok
Faktor geopolitik menjadi latar penting. Tiongkok kini menjadi kreditor eksternal terbesar Vanuatu setelah bertahun-tahun memberikan dana pinjaman infrastruktur serta membangun jalan, kantor pemerintahan, dan istana presiden yang diperkirakan menelan biaya AUD$31 juta (sekitar US$19,6 juta).
Selain itu, Beijing juga memberikan pelatihan polisi, kapal patroli, dan dukungan forensik. Dalam konteks ini, Perjanjian Nakamal mencerminkan upaya Australia untuk memperkuat posisinya sebagai mitra utama Vanuatu dalam bidang keamanan dan pembangunan, serta membatasi ruang Tiongkok untuk "menanamkan pengaruhnya sebagai mitra utama komersial dan keamanan" di negara kepulauan itu.
Bagi Canberra, kesepakatan ini merupakan bagian dari strategi lebih luas untuk mempererat hubungan di kawasan Pasifik, menyusul kesepakatan dengan Kepulauan Solomon, Tuvalu, dan Papua Nugini. Bagi Vanuatu, ini adalah upaya mendiversifikasi mitra sekaligus menjaga kedaulatan di bawah kebijakan lamanya: “bersahabat dengan semua, tidak bermusuhan dengan negara mana pun.”
Meski isu visa masih menggantung, para analis menilai kesepakatan ini sebagai langkah maju besar. “Perjanjian ini mengakui bahwa sebagai tetangga, kita berbagi lingkungan keamanan yang sama dan memiliki komitmen satu sama lain. Semua itu tertuang dalam kesepakatan ini,” ujar Marles di Tanna.
Terobosan ini juga menegaskan kesiapan Australia merespons aspirasi negara-negara Pasifik, sekaligus menjadi langkah menuju tatanan regional yang lebih mandiri dan tidak terlalu bergantung pada pengaruh ekonomi Beijing.
![Menteri senior Australia dan Vanuatu membubuhkan paraf pada Perjanjian Nakamal di puncak Gunung Yasur, 13 Agustus lalu. Pakta ini bertujuan mempererat hubungan keamanan dan ekonomi kedua negara. [Kantor Perdana Menteri Vanuatu]](/gc9/images/2025/08/20/51613-au-vu_signing-370_237.webp)