Oleh Gao Ziqiao |
Agresi Tiongkok terhadap Taiwan meluas dari ancaman militer ke ranah budaya dan hiburan.
Pada awal Maret, banyak artis Taiwan membagikan gambar dari lembaga siaran milik pemerintah Tiongkok, CCTV, yang menampilkan pesan "Taiwan Harus Kembali (ke Tiongkok)" beserta tagar "#TaiwanProvinsiTiongkok”.
Pemerintah Taiwan menyatakan akan mengusut dan menghukum para pelaku sesuai hukum.
Insiden ini bermula dari pernyataan Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi yang mengatakan bahwa "wilayah Taiwan hanya pernah disebut sebagai ‘Taiwan, Provinsi Tiongkok’ di PBB.”
![Seorang influencer Tiongkok di Taiwan, bermarga Liu, dideportasi karena sering mendukung “penyatuan secara militer” Tiongkok di saluran media sosialnya yang ditujukan untuk audiens Taiwan. [YouTube]](/gc9/images/2025/03/26/49764-yaya4-370_237.webp)
Unjuk “kesetiaan”
"Taiwan tidak pernah menjadi negara, baik di masa lalu maupun di masa depan," kata Wang pada 7 Maret dalam konferensi pers saat menghadiri sidang Kongres Rakyat Nasional dan Konferensi Permusyawaratan Politik Rakyat Tiongkok yang bersamaan.
Tak lama kemudian, CCTV menerbitkan gambar bertema "Taiwan Bagian Tiongkok Harus Kembali (ke Tiongkok)" dan menganjurkan para selebriti mengunggah ulang. Lebih dari 20 artis asal Taiwan, termasuk Patty Hou, Joe Chen, dan Michelle Chen, langsung mematuhinya untuk menunjukkan "kesetiaan" mereka.
Keesokan harinya, CCTV merilis "daftar artis Taiwan yang mengunggah ulang (gambar tersebut)" guna menekan yang belum ikut serta. Warganet Tiongkok menyoroti figur terkenal seperti Mayday dan Jolin Tsai yang bungkam, bahkan sebagian menyerukan "larangan total terhadap artis pro-kemerdekaan Taiwan."
Ini bukan pertama kalinya Beijing menggerakkan artis Taiwan untuk membuat pernyataan politik.
Pada 2024, bertepatan dengan peringatan 75 tahun berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, beberapa artis Taiwan mengunggah ulang pesan ucapan selamat di Weibo.
Namun, kali ini Taipei menilai bahwa konten tersebut merongrong kedaulatan nasional Taiwan. Pemerintah Taiwan yang sebelumnya hanya mengatakan "apa boleh buat", karena memahami tekanan yang dihadapi para artis, kini mengeluarkan kecaman keras.
Mencabut KTP
Setiap pernyataan atau tindakan yang merusak martabat nasional akan diatur oleh hukum sebagai respons terhadap taktik dan ancaman Front Persatuan Tiongkok, kata Presiden Taiwan Lai Ching-te dalam pertemuan tingkat tinggi tentang keamanan nasional pada 13 Maret.
Front Persatuan adalah kebijakan Tiongkok yang menggabungkan ancaman perang, tawaran kerja sama yang menggiurkan dengan perusahaan Tiongkok, dan penggalangan pihak pro-Beijing di Taiwan.
Lai menganjurkan para artis menghormati kepentingan nasional Taiwan dan "perasaan rakyat di negeri ini."
Dewan Urusan Tiongkok Daratan (MAC) akan menyelidiki, apakah para artis tersebut melanggar hukum dengan berkolaborasi dengan Partai Komunis Tiongkok, pemerintah Tiongkok, atau militer Tiongkok, atau dengan berpartisipasi dalam advokasi politik, kata Menteri MAC Chiu Chui-cheng pada sejumlah kesempatan.
"Jika Anda ingin mengagungkan Tiongkok, berhentilah memanfaatkan KTP Taiwan Anda," Chiu memperingatkan.
Jika ada artis yang memiliki kartu identitas Tiongkok, MAC akan menegakkan hukum dan mencabut kartu identitas serta registrasi rumah tangga Taiwannya. Ini untuk mencegah mereka terus memanfaatkan kewarganegaraan Taiwan dalam upaya Front Persatuan menyerang Taiwan, ujarnya.
"Tekanan internal dan eksternal yang dihadapi para artis akan semakin besar," kata Luo Shih-hung, profesor komunikasi di Universitas Nasional Chung Cheng di Kota Chiayi, Taiwan, kepada Focus.
Dengan semakin tegasnya sikap pemerintah Taiwan, para artis yang berkarier di Tiongkok dan membuat pernyataan politik pro-Tiongkok akan menghadapi risiko dan tantangan yang lebih besar, tambahnya.
Senjata negara musuh
Menghadapi taktik Beijing yang kian intensif, Taiwan semakin waspada terhadap para artis dan influencer online yang menyokong ancaman Tiongkok.
Salah satunya Liu, seorang istri kelahiran Tiongkok yang tinggal di Taiwan. Liu mengelola saluran TikTok dan YouTube populer bernama "Yaya di Taiwan", yang memiliki 450.000 pengikut.
Liu disorot karena menyebarkan pesan pro-Tiongkok, termasuk seruan untuk merebut Taiwan. Dalam salah satu videonya, putrinya berteriak ke kamera: "Saya berharap misi pertama Kapal Sichuan [kapal serbu amfibi Tiongkok, tipe 076] begitu diluncurkan adalah merebut kembali Taiwan."
Setelah melakukan penyelidikan dan wawancara, Badan Imigrasi Nasional Taiwan memutuskan bahwa Liu melanggar Undang-Undang Lintas Selat. Otoritas mencabut izin tinggal berbasis keluarga miliknya pada pertengahan Maret dan memerintahkannya untuk meninggalkan Taiwan dalam waktu 10 hari. Dia juga dilarang mengajukan izin tinggal berbasis keluarga lagi selama lima tahun.
Kendati sebagian legislator pro-penyatuan di Taiwan berpendapat bahwa pernyataan Liu masih berada dalam batas kebebasan berpendapat, Hakim Lin Da menekankan dalam sebuah unggahan online pada pertengahan Maret, bahwa kebebasan berpendapat ada batasnya.
"Jika Republik Tiongkok [Taiwan] tidak ada lagi, bagaimana pemerintah bisa melindungi kebebasan berbicara warganya?" kata Lin.
Kebebasan berbicara di negara demokratis ada demi stabilitas demokrasi, kata Chian Yu-yan, penulis Menyerbu Meja Redaksi —buku tentang infiltrasi Tiongkok ke media Taiwan dan dampaknya terhadap kebebasan pers Taiwan—di Facebook pada pertengahan Maret.
Jika influencer menjadi senjata negara musuh dan rezim otoriter, maka kebebasan berbicaranya harus dibatasi, tambah Chian.