Oleh Jia Feimao |
Pesawat dan kapal PLA Tiongkok yang berulang kali mendekati Taiwan mengingatkan gentingnya situasi keamanan pulau itu.
Menurut Kementerian Pertahanan Nasional (MND) Taiwan, dalam empat bulan pertama 2025 tercatat lebih dari 1.700 kali pesawat tempur PLA dan 859 kali kapal laut di dekat Taiwan — tertinggi sepanjang sejarah.
Aktivitas ini dipandang sebagai simulasi untuk kemungkinan penyatuan paksa.
Di tengah meningkatnya tekanan militer, angkatan bersenjata Taiwan menghadapi tantangan besar: menstabilkan dan mempertahankan jumlah personel militer sukarela.
![Rasio-staf tentara Taiwan terus menurun sejak 2020, di bawah batas krusial 85%. [Kementerian Pertahanan Nasional Taiwan]](/gc9/images/2025/05/08/50319-chart_tw_military-370_237.webp)
Hingga Juni lalu, jumlah personel milsuk aktif tercatat 152.885 — jumlah terendah sejak 2018, tahun ketika Taiwan menerapkan sistem rekrutmen campuran.
Wajib militer
Penurunan ini disebabkan oleh rendahnya angka kelahiran di Taiwan dan daya tarik sektor swasta, yang membuat rekrutmen dan retensi militer semakin sulit.
Sebagai respons, Taiwan memberlakukan kembali wajib militer satu tahun penuh pada 2024 untuk menutup kekurangan personel akibat menurunnya jumlah sukarelawan.
Sebelumnya, masa dinas wajib militer hanya empat bulan per tahun dari 2013 hingga 2024.
MND memperkirakan jumlah wamil akan melampaui 53.000 orang pada 2029, naik dari 9.125 pada 2024.
MND juga memperluas dan meningkatkan pelatihan dengan latihan tembak, survival, dan komponen pertahanan sipil agar tarunanya siap melaksanakan pertahanan wilayah.
Seorang bintara bermarga Yang, yang berhenti dari dinas militernya pada awal 2024, mengatakan kepada Focus bahwa kekurangan personel telah lama terjadi
"Satu peleton dulu berisi lebih dari 20 orang, sekarang sering kurang dari 10," katanya.
Maraknya aktivitas PLA berdampak pada pelatihan dan rotasi, kian membebani unit yang sudah kekurangan personel, tambahnya.
"Bahkan ada yang bergurau bahwa militer Taiwan tidak mampu bertempur," kata Yang. Dia menyebut kurangnya penghargaan masyarakat membuat sebagian tentara memilih mundur.
Data menunjukkan tren penurunan rasio personel per posisi (rasio staf), dari 88,57% pada 2020 menjadi 78,6% pada 2024, di bawah standar operasional minimum yang umumnya diterima, yaitu 85%.
Yang mencolok, rasio staf 19 unit tempur utama di bawah 80%.
Reformasi gaji
Jumlah pengunduran diri dini melonjak tajam, dengan 1.565 bintara memilih keluar dari dinas militer pada 2024 — naik drastis dibanding 401 orang pada 2020.
Mereka memilih mundur lebih awal meskipun harus membayar denda karena melanggar ikatan dinas.
Letnan AD Ah-de (nama samaran), yang akan keluar setelah 10 tahun berdinas, mengatakan kepada Focus bahwa dia awalnya berencana berdinas selama 20 tahun, tetapi berubah pikiran karena tidak suka dengan budaya “cari selamat alih-alih mengejar prestasi.”
Dalam upaya jangka panjang menghadapi ancaman Tiongkok, Taiwan melakukan reformasi gaji tentara pada 1 April untuk meningkatkan rekrutmen dan retensi personel.
Skema baru ini menaikkan upah semua personel, terutama milsuk. Perwira junior naik hingga 50%, perwira senior naik 30%, dan pasukan di garis depan menerima tambahan melalui sistem tiga tingkat yang baru.
Termotivasi untuk mengabdi
Meski menghadapi berbagai tantangan, sebagian perwira dan prajurit tetap berkomitmen menjalankan tugas mereka.
Letnan Xie, abituren angkatan ke-103 Akademi Militer, yang hanya disebut marganya, mengakui beban kerja memang meningkat beberapa tahun terakhir, tetapi mengapresiasi kenaikan gaji dan dukungan pemerintah.
Dia mengatakan tidak melihat adanya “gelombang pengunduran diri” di kalangan rekan-rekannya, dan menambahkan bahwa moril tetap terjaga meskipun risiko kian meningkat.
Sementara dia sendiri merasa “semakin terpanggil” untuk mengabdi.