Oleh Jia Fei-mao |
Reformasi pendidikan militer Tiongkok dapat merampingkan sistem yang dianggap ketinggalan zaman dan terlalu gemuk. Atau hal itu dapat menimbulkan komplikasi tidak diinginkan bagi rezim tersebut.
Tentara Tiongkok pada bulan Mei mengumumkan restrukturisasi besar-besaran terhadap sistem pendidikannya, mendirikan tiga akademi baru untuk memperkuat operasi gabungan dan melatih talenta untuk cabang kedinasan baru.
Langkah ini menandai reorganisasi akademi paling signifikan PLA sejak 2017 dan selaras dengan reformasi militer yang lebih luas dan cita-cita merampungkan modernisasi penuh pada 2027.
Tiga akademi baru itu adalah Akademi Bantuan Tempur Darat di Hefei, Universitas Teknik Dukungan Informasi (ISF) di Wuhan, dan Universitas Teknik Bekang di Chongqing.
![Foto tidak bertanggal ini menampilkan kampus Universitas Teknik Dukungan Informasi (ISF), tempat personel masa depan ISF Tiongkok dilatih. [China Military Online]](/gc9/images/2025/06/10/50730-isf_engineering_university-370_237.webp)
Ketiga akademi itu akan menerima lulusan SMA, menurut pengumuman Kementerian Pertahanan Nasional pada pertengahan Mei.
Prakarsa ini diambil untuk mengadaptasi "perubahan struktur kecabangan militer" dan kebutuhan tenaga militer, kata Kol. Senior Jiang Bin, juru bicara kementerian, saat jumpa pers pada 15 Mei.
Mengintegrasikan akademi
Universitas Teknik ISF menggabungkan Sekolah Tinggi Informasi & Komunikasi dari Universitas Teknologi Pertahanan Nasional dan Sekolah Kadet Komunikasi dari Universitas Teknik Angkatan Darat.
Tugasnya adalah melatih personel untuk Korps ISF yang baru didirikan, yang menggantikan Korps Dukungan Strategis.
ISF kini mengoordinasikan sistem komunikasi dan jaringan PLA dan dianggap penting bagi upaya Tiongkok membangun jaringan informasi terpadu dan memenangkan perang masa depan.
Universitas baru ini dianggap sebagai candradimuka perwira siber dan informatika PLA masa depan di pelbagai bidang seperti jaringan militer, teknologi komunikasi, intelijen data, dan sistem perangkat lunak.
Sementara itu, Universitas Teknik Bekang dibentuk dengan menggabungkan Akademi Logistik AD, Universitas Transportasi Militer, dan Sekolah Kadet Otomotif di bawahnya. Akademi tersebut akan melatih perwira di bidang komando, manajemen logistik, dan dukungan teknis untuk sistem pendukung PLA di seluruh negeri.
Dan yang terakhir, Akademi Bantuan Tempur Darat berasal dari gabungan Akademi Kavaleri dengan Akademi Armed & Arhanud.
Penguatan kemampuan operasi gabungan adalah hal pokok dalam agenda modernisasi PLA, tegas Lin Ying-yu, lektor Graduate Institute of International Affairs and Strategic Studies di Tamkang University di Taiwan.
Operasi gabungan -- aksi militer yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pasukan dari dua kecabangan atau lebih -- merupakan prasyarat bagi cita-cita Presiden Xi Jinping agar PLA "mampu menginvasi Taiwan pada 2027," kata Lin.
"Kadet kavaleri dan artileri yang belajar di satu akademi akan mengerjakan tugas kuliah bersama dan berinteraksi erat, dan pengalaman ini membantu memudahkan operasi gabungan masa depan," ujar Lin kepada Focus.
Faksionalisme berakar kuat di dalam PLA, terutama di pasukan darat, yang masih enggan bekerja sama dengan cabang kedinasan lain, tambahnya.
Integrasi akademi, kata Lin, dapat membantu membangun budaya operasi gabungan semenjak tingkat kadet.
Masih ada pertanyaan
Restrukturisasi ini membidik ketidakefisienan institusi dan kelebihan staf.
Sebelum ini banyak akademi PLA yang memiliki fungsi serupa, dan mempekerjakan terlalu banyak staf non-pengajar, melemahkan kesiapan secara keseluruhan, kata Lin.
Perampingan saat ini dapat mengurangi biaya personel secara signifikan, katanya.
Pada 2017, PLA mengurangi jumlah akademi militer dari 63 menjadi 44, menurut surat kabar pemerintah Ta Kung Pao. Babak restrukturisasi terbaru ini mengisyaratkan upaya lanjutan PLA untuk mengoptimalkan sistem pendidikan dan tenaga kerjanya sebagai bagian dari strategi modernisasi jangka panjang.
Meskipun reformasi ini bertujuan meningkatkan kemampuan tempur gabungan dan merampingkan sumber daya, dampaknya di bawah kontrol Partai Komunis Tiongkok yang ketat masih belum diketahui.
Akses ke informasi luar yang terbatas dapat menghambat pengembangan pasukan siber kelas atas, kata Shen Ming-shih, peneliti di INDSR Taiwan, kepada Focus.
Pada saat yang sama, keterbukaan yang lebih besar dapat membuat para kadet mempertanyakan rezim itu, sehingga menimbulkan dilema bagi pihak berwenang, katanya.