Oleh Focus dan AFP |
Setahun setelah gelombang protes besar menggulingkan pemimpin lama Sheikh Hasina dan memaksanya hidup di pengasingan, Bangladesh mengalami pergeseran geopolitik besar yang, menurut para analis, dapat menyeret Dhaka ke dalam pusaran persaingan kekuatan global berisiko tinggi.
Perubahan ini dipelopori pemimpin interim sekaligus peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus. Hal ini terlihat jelas pada bulan Maret ketika ia memutus tradisi dengan memilih Beijing — bukan Delhi — sebagai kunjungan kenegaraan pertamanya. Di sana, Yunus mendapatkan pinjaman, investasi, dan hibah senilai US$2,1 miliar, menurut laporan Dhaka Tribune.
Kunjungan tersebut juga memberi Beijing hadiah besar: kesepakatan senilai US$400 juta untuk memodernisasi Pelabuhan Mongla di Bangladesh, memberi Tiongkok pijakan strategis baru di dekat koridor timur laut India — wilayah yang dipandang New Delhi penting bagi keamanan nasionalnya.
Secara simbolik dan strategis, perjalanan itu menandai pergeseran Dhaka dari posisi netralnya selama beberapa dekade antara India dan Tiongkok, seiring memburuknya hubungan dengan New Delhi.
![Presiden Tiongkok, Xi Jinping, berjabat tangan dengan pemimpin interim Bangladesh, Muhammad Yunus, di Beijing, 28 Maret. [Ding Haitao/Xinhua via AFP]](/gc9/images/2025/07/09/51112-afp__20250328__xxjpbee007215_20250328_pepfn0a001__v1__highres__chinabeijingxijinping-370_237.webp)
"Hubungan India-Bangladesh sepertinya belum pernah seburuk ini," kata Praveen Donthi dari International Crisis Group kepada AFP pada 7 Juli.
Di Dhaka, kemarahan masyarakat atas nasib mantan Perdana Menteri Hasina yang masih buron tetap kuat. Ia melarikan diri dengan helikopter saat terjadi pemberontakan mahasiswa pada Agustus lalu, kemudian terbang ke New Delhi saat ribuan demonstran mengepung kediaman resminya.
Yunus mengatakan kemarahan rakyat Bangladesh yang mayoritas Muslim kini “teralihkan ke India” karena pemerintahan nasionalis Hindu di New Delhi memberikan perlindungan kepada Hasina.
Hasina, 77 tahun, telah mengabaikan perintah ekstradisi untuk menghadiri persidangan kejahatan kemanusiaan terhadap dirinya. Pengadilan Bangladesh telah menjatuhkan vonis in absentia padanya atas penghinaan terhadap pengadilan, dengan hukuman enam bulan penjara.
New Delhi sejauh ini menolak permintaan ekstradisi dari Dhaka.
‘Babak baru’
Pemerintahan interim Bangladesh mengatakan masih fokus membangun konsensus demokratis. Namun, pergeseran kebijakan luar negerinya berjalan cepat.
Dalam kunjungannya ke Beijing, Yunus menyatakan hubungan dengan Tiongkok telah memasuki “babak baru,” menurut media pemerintah Tiongkok, Xinhua News Agency.
Ia bahkan menyatakan Bangladesh bisa menjadi “perpanjangan ekonomi Tiongkok” dan gerbang maritim bagi negara bagian timur laut India yang terkurung daratan. Pernyataan ini dianggap provokatif di India.
Pada bulan Maret, pemerintahan Yunus secara terbuka menyatakan penolakan terhadap kemerdekaan Taiwan—untuk pertama kalinya dalam sejarah pemerintahan Bangladesh.
Tiongkok "sangat ingin" bekerja sama dengan pemerintahan terpilih berikutnya dengan “ketulusan, keteguhan, cinta, dan kasih sayang,” kata Mirza Fakhrul Islam Alamgir, tokoh senior Partai Nasionalis Bangladesh (BNP), yang diperkirakan akan menang dalam pemilu tahun depan, seperti dikutip AFP.
Dalam beberapa tahun terakhir, Bangladesh memang telah memperluas hubungan militer dan diplomatiknya dengan Beijing.
Menurut lembaga think tank SIPRI asal Swedia, Tiongkok memasok 72% senjata Bangladesh antara 2019 hingga 2023, termasuk kapal selam yang kini ditempatkan di pangkalan angkatan laut BNS Sheikh Hasina yang dibangun oleh Tiongkok dan kini berganti nama menjadi BNS Pekua.
Pangkalan yang diresmikan pada 2023 itu mampu menampung enam kapal selam dan delapan kapal perang sekaligus.
Menambah keresahan kawasan, poros baru Dhaka juga telah menjangkau mitra keamanan selain Tiongkok.
Pada bulan Juni, pejabat Bangladesh dan musuh bebuyutan India — Pakistan — mengadakan pembicaraan trilateral bersama pejabat Tiongkok sebagai tuan rumah. Dalam pertemuan itu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengumumkan program kerja sama baru di bidang perdagangan, industri, pendidikan, dan pertanian.
‘Pasir hisap berbahaya’
Namun, langkah cepat mendekati Tiongkok membawa risiko, kata para analis.
Dalam tulisannya di The New Atlanticist pada bulan Mei, Wahiduzzaman Noor dan Samantha Wong menyoroti risiko strategis dari kedekatan Dhaka dengan Tiongkok, dengan menyatakan "Bangladesh, dalam langkah geopolitiknya yang terburu-buru, mungkin telah menukar keseimbangan yang rapuh dengan jebakan pasir hisap yang berbahaya."
Meski Bangladesh diuntungkan dari investasi Tiongkok, banyak proyek Belt and Road Initiative (BRI) menuai kritik karena biaya yang membengkak dan kurang transparan.
BRI adalah proyek infrastruktur global yang didanai Tiongkok untuk memudahkan ekspor bahan mentah dari negara-negara miskin ke Tiongkok.
Kini, Tiongkok menjadi kreditur terbesar kedua bagi Bangladesh setelah Jepang, dengan total penyaluran dana mencapai US$7,5 miliar sejak 1975, menurut The Daily Star pada bulan Januari.
Sementara itu, New Delhi memperketat aturan perdagangan yang memengaruhi ekspor Bangladesh dan meningkatkan aktivitas militer di dekat perbatasan.
Hubungan tetap dingin: pertemuan yang telah lama tertunda pada April lalu antara Yunus dan Perdana Menteri India Narendra Modi tak membuahkan banyak tanda rekonsiliasi.
Meski pendekatan Yunus terhadap Tiongkok berpotensi meningkatkan profil internasional Bangladesh, para pengkritik menilai pemerintahan interim—yang menjalankan kekuasaan tanpa dukungan parlemen terpilih—tidak memiliki mandat yang sah untuk melakukan perubahan besar dalam arah kebijakan luar negeri.
Kini Bangladesh menghadapi pilihan penting: terus memperdalam hubungannya dengan Tiongkok dan berisiko semakin terisolasi di kawasan, atau menyesuaikan kembali kebijakan luar negerinya demi menjaga posisi strategis yang lebih seimbang.