Politik

Ketidakstabilan politik di Nepal memicu perdebatan tentang aliansi dengan China dan kekhawatiran utang.

Setelah pengunduran diri K.P. Sharma Oli, Kathmandu menghadapi persimpangan jalan antara berpihak ke Beijing atau menyeimbangkan kebijakan luar negerinya.

Massa pemuda berunjuk rasa menentang korupsi dan larangan media sosial di Kathmandu, Nepal, pada 8 September. Aksi yang dipimpin aktivis Gen Z ini ikut mendorong jatuhnya pemerintahan pro-Tiongkok. [AFP]
Massa pemuda berunjuk rasa menentang korupsi dan larangan media sosial di Kathmandu, Nepal, pada 8 September. Aksi yang dipimpin aktivis Gen Z ini ikut mendorong jatuhnya pemerintahan pro-Tiongkok. [AFP]

Oleh Zarak Khan |

Pengunduran diri Perdana Menteri Nepal K.P. Sharma Oli, setelah berhari-hari kerusuhan berdarah, kembali memicu perdebatan tentang arah kebijakan luar negeri negara itu dan semakin besarnya pengaruh Tiongkok di negara Himalaya tersebut.

Unjuk rasa yang meletus pada 8 September karena isu korupsi, kondisi ekonomi yang memburuk, dan larangan media sosial yang banyak dikritik, menewaskan lebih dari 70 orang dan melukai ratusan lainnya.

Kekacauan itu memuncak dengan mundurnya Oli pada 9 September, pembubaran parlemen, dan penunjukan mantan ketua Mahkamah Agung Sushila Karki sebagai perdana menteri interim untuk memimpin pemerintahan sementara hingga pemilu di bulan Maret.

Kini kepemimpinan Nepal menghadapi tantangan lebih serius: apakah mempertahankan kecenderungan pro-Beijing ala Oli atau menyeimbangkan kebijakan luar negeri, kata para analis.

Perdana Menteri interim Nepal yang baru dilantik, Sushila Karki, mengunjungi sebuah rumah sakit pada 13 September. [Sanjit Pariyar/NurPhoto via AFP]
Perdana Menteri interim Nepal yang baru dilantik, Sushila Karki, mengunjungi sebuah rumah sakit pada 13 September. [Sanjit Pariyar/NurPhoto via AFP]
Perdana Menteri Nepal saat itu, K.P. Sharma Oli, dan Presiden Tiongkok Xi Jinping berjabat tangan di Tianjin, Tiongkok, pada 30 Agustus. Oli berada di Tiongkok untuk menghadiri KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) dan acara peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II. [Kementerian Luar Negeri Nepal/X]
Perdana Menteri Nepal saat itu, K.P. Sharma Oli, dan Presiden Tiongkok Xi Jinping berjabat tangan di Tianjin, Tiongkok, pada 30 Agustus. Oli berada di Tiongkok untuk menghadiri KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) dan acara peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II. [Kementerian Luar Negeri Nepal/X]

Manfaat dari pilihan kedua, bila Nepal mengikutinya, adalah melindungi kedaulatan nasional dan menghindari risiko utang, menurut banyak pendapat.

Kecenderungan pro-Beijing Oli dan reaksi domestik

Nepal menempati posisi strategis yang sensitif sebagai negara penyangga antara Tiongkok dan India, dan secara tradisional berusaha menyeimbangkan hubungan dengan dua tetangga raksasanya itu.

Namun Oli menyimpang dari kebiasaan.

Oli memilih Tiongkok, bukan India, sebagai tujuan kunjungan luar negeri pertamanya setelah dilantik untuk keempat kalinya pada Juli. Secara historis, para pemimpin Nepal selalu memprioritaskan kunjungan ke India.

Pada Desember lalu, pejabat Nepal dan Tiongkok menandatangani perjanjian kerangka kerja Belt and Road Initiative (BRI) yang diperbarui, menghidupkan kembali 10 proyek konektivitas, termasuk rel, jalan, dan energi. Oli mendapatkan bantuan finansial Tiongkok senilai 41 juta dolar.

BRI adalah inisiatif Tiongkok untuk membangun infrastruktur global yang akan mengalirkan bahan mentah negara-negara miskin ke Tiongkok.

Kebijakan luar negeri Oli menimbulkan gesekan dengan sebagian masyarakat Nepal, negara tetangga, dan mitra Barat yang menganggapnya mengorbankan kepentingan nasional demi ambisi strategis Beijing, kata para pengkritik.

Kathmandu Post, dalam editorial 7 September, sehari sebelum protes dimulai, menulis bahwa Oli telah “menjauhkan India,” mitra Barat, dan Jepang dengan merapatkan Nepal ke Tiongkok—sebuah pergeseran yang dinilai bisa menimbulkan “implikasi jangka panjang bagi kebijakan luar negeri Nepal.”

Oli menghadiri KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) di Tianjin, Tiongkok, dan parade Hari Kemenangan pada 3 September di Beijing.

Parade itu menampilkan kekuatan militer Tiongkok bersama mitra strategis seperti Rusia dan Korea Utara.

Kehadiran Oli dalam parade Tiongkok itu telah “menetapkan Nepal secara tegas di kubu anti-Barat, anti-AS, dan anti-Jepang, yang akan sulit dilepaskan Nepal,” tulis Kathmandu Post.

Menantang India, merangkul Tiongkok

Dalam pembicaraan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di sela-sela SCO, Oli mengambil sikap lebih tegas terhadap India, menegaskan kembali klaim kedaulatan Nepal atas Lipulekh Pass, jalur perdagangan vital melalui negara bagian Uttarakhand, India.

Oli menyebut wilayah itu sebagai “wilayah milik Nepal,” menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Nepal.

Pada 2020, pemerintah Oli menepis laporan—termasuk dokumen Kementerian Pertanian yang bocor—yang menuding Tiongkok merambah 36 hektar di 10 titik perbatasan. Namun, penyelidikan pemerintahan berikutnya justru mengonfirmasi adanya pembangunan ilegal di sejumlah distrik perbatasan, menurut laporan Khabarhub tahun 2023 yang mengutip pejabat.

“Sebagian besar penolakan publik muncul dari keputusan kebijakan luar negeri yang dibuat secara tertutup, terutama yang terkait dengan Beijing,” kata Deepak Sharma, seorang aktivis politik berbasis di Kathmandu yang ikut dalam protes baru-baru ini, kepada Focus.

“Banyak orang menentang pinjaman besar dari Tiongkok yang tidak berkelanjutan, khawatir akan ketergantungan utang yang sama seperti yang memicu keruntuhan ekonomi Sri Lanka pada 2022,” tambahnya.

Keterlibatan Beijing dalam politik Nepal

Tiongkok jelas khawatir kehilangan seorang pemimpin yang bersahabat di Kathmandu.

Tiongkok mendesak semua pihak untuk segera memulihkan ketertiban, sebuah langkah yang menurut analis menunjukkan pemantauan ketat Beijing terhadap Nepal pada saat India dan Barat mungkin berusaha memperkuat kembali pengaruh mereka di Kathmandu.

“Oli punya hubungan yang relatif dekat dengan Tiongkok, jadi saya yakin ini pasti menarik perhatian lebih besar dari Tiongkok,” kata Lin Minwang, profesor sekaligus wakil dekan di Institut Studi Internasional Universitas Fudan, Shanghai, kepada South China Morning Post pada 10 September.

Sejak penghapusan monarki Nepal pada 2008, Tiongkok telah membina hubungan dengan partai-partai politiknya, menjadikan mereka kunci strategi Himalaya Beijing.

Pada 2020, saat terjadi perebutan kekuasaan antara Oli dan Pushpa Kamal Dahal alias Prachanda, Tiongkok mengirim delegasi senior Partai Komunis ke Kathmandu untuk menengahi.

Meskipun Beijing menyebut misi itu sebagai upaya membangun stabilitas, analis lokal melihatnya sebagai usaha membentuk hasil politik.

“Campur tangan Beijing itu melanggar norma diplomatik konvensional,” kata Hari Adhikari, seorang akademisi Nepal yang meneliti hubungan Tiongkok-Nepal, kepada Focus.

“Keterlibatan langsungnya dalam politik domestik menandakan kesediaan untuk memengaruhi keputusan kepemimpinan, yang merusak kedaulatan Nepal,” tambahnya.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *