Oleh Jia Feimao |
Pernyataan yang mengkhawatirkan dan pesimistis dari Presiden Taiwan Lai Ching-te ternyata hanyalah deepfake artificial intelligence (AI).
"Waktu semakin sempit bagi Taiwan. Tiongkok semakin kuat, dan Amerika Serikat tidak lagi mampu mengendalikannya. Suatu hari nanti, mereka mungkin saja akan menyerahkan kita begitu saja."
Dalam video yang diunggah di saluran YouTube yang kini sudah tidak aktif, AI Community of Common Destiny, Lai tampaknya sedang berbicara dengan Wakil Presiden Hsiao Bi-khim.
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa semua video saluran tersebut dibuat menggunakan teknologi deepfake, yang memanipulasi ucapan para pemimpin politik Taiwan. Sebuah klip pendek yang diunggah pada 17 September, berdurasi kurang dari 50 detik, menampilkan Lai yang dihasilkan oleh komputer mengatakan: “Bahkan jika kita membeli semua peralatan militer Amerika, kita tidak bisa mengalahkan Komunis Tiongkok,” “Kita harus memanfaatkan waktu ini untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin,” dan “Begitu kita merasakan ada yang salah, kita akan segera meninggalkan Taiwan.”
![Peserta konferensi mengikuti tantangan komputer untuk membedakan gambar asli dengan gambar yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) pada Konferensi Apsara 2025 di Hangzhou, Tiongkok, pada 24 September. [Long Wei/CFOTO via AFP]](/gc9/images/2025/10/06/52294-afp__20250924__i1758728690036__v1__highres__2025apsaraconferenceinhangzhou-370_237.webp)
Meskipun saluran tersebut mengklaim bahwa video tersebut hanya untuk hiburan, Lo Tien, dosen pembantu di Universitas Sains dan Teknologi Nasional Taiwan, mengatakan kepada PTS News: “Baik itu kloning suara maupun pemalsuan wajah, tingkat realismenya cukup tinggi. Jika hal ini melanggar kepentingan nasional, maka harus dilakukan penyelidikan.”
Pejabat keamanan nasional Taiwan menganggap narasi “pro-Tiongkok” dan “anti-AS” dalam cuplikan tersebut sangat menyesatkan dan mencurigai kemungkinan keterlibatan pasukan siber Tiongkok atau operator media sosial sekutunya, menurut laporan media Taiwan.
Karena video tersebut mendapat liputan luas, pada akhir September, YouTube menghapus saluran AI Community of Common Destiny yang diluncurkan pada bulan Juli.
Lelucon yang berbahaya
Membuat klip palsu tentang para pemimpin mungkin terlihat seperti lelucon atau clickbait, tetapi membiarkannya tanpa pengawasan berisiko merusak kredibilitas Lai, kata Yao-yuan Yeh, direktur Program Studi Taiwan dan Asia Timur di Universitas St. Thomas di Houston, Texas, kepada Focus.
Jika Taiwan mengalami krisis, narasi palsu serupa dapat menguat dan membahayakan masyarakat.
“Secara hukum, perlu ada larangan penggunaan citra atau suara yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) dari tokoh publik untuk menyebarkan informasi palsu, baik untuk sekadar hiburan maupun dengan niat jahat,” tambah Yeh, sambil mendesak otoritas Taiwan untuk menyelidiki apakah ada dana dari Tiongkok yang terlibat.
Meskipun motif di balik saluran AI Community of Common Destiny masih belum jelas, satu hal yang pasti: organisasi yang terkait dengan pemerintah Tiongkok telah mengerahkan berbagai perusahaan yang didukung oleh kecerdasan buatan (AI) untuk membentuk opini publik.
Pada bulan Agustus, Profesor Teknik Brett J. Goldstein dan ilmuwan politik Brett V. Benson, keduanya dari Universitas Vanderbilt di Nashville, Tennessee, mengungkapkan dalam The New York Times bahwa GoLaxy, sebuah perusahaan yang didanai oleh entitas yang terkait dengan militer Tiongkok, telah menyebarkan disinformasi dan melakukan kampanye pengaruh jahat di Hong Kong dan Taiwan.
Menurut dokumen internal yang diperoleh oleh The Times, GoLaxy menggunakan sistem yang disebut Smart Propaganda System (juga dikenal sebagai GoPro) untuk menganalisis data platform media sosial dan membangun profil pribadi, bahkan merekomendasikan strategi untuk merusak kepercayaan terhadap Partai Demokratik Progresif (DPP) yang berkuasa di Taiwan.
Perusahaan tersebut dilaporkan telah mengumpulkan data lebih dari 5.000 akun media sosial milik warga Taiwan agar dapat memetakan sikap politik mereka terhadap Tiongkok.
Campur tangan di Taiwan dan Hong Kong
Menjelang pemilihan presiden Taiwan tahun 2024, GoLaxy melancarkan serangan menggunakan deepfake berbasis AI, sementara kelompok yang berafiliasi dengan Tiongkok menyebarkan narasi pesimisme dan tuduhan palsu tentang korupsi di media sosial.
Pada tahun 2020, kelompok ini menggunakan jaringan akun palsu untuk menyerang pihak-pihak yang menentang undang-undang keamanan nasional Tiongkok, yang secara efektif menghapus kebebasan berekspresi yang masih tersisa di Hong Kong.
“GoLaxy memiliki keterkaitan yang kuat dengan aparat keamanan dan militer pemerintah Tiongkok. Mereka tengah mengembangkan berbagai alat baru yang diklaim mampu melakukan operasi informasi dengan lebih efektif,” ujar James Mulvenon, Kepala Intelijen di Pamir Consulting, kepada The Times.
Konten yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) dinilai sangat berbahaya karena dapat menyebarkan pesan yang tampak “meyakinkan” tanpa menimbulkan penolakan, kata Goldstein dan Benson.
“Mereka beroperasi secara terus-menerus, membentuk opini publik dan mengikis lembaga demokrasi secara perlahan di bawah permukaan,” tambah keduanya.
Menurut pejabat keamanan Taiwan, propaganda kini telah berkembang dari penyiaran massal tradisional menjadi penargetan yang presisi berdasarkan karakteristik individu. Untuk melawan pengaruh yang bermusuhan, mereka menekankan bahwa Taiwan perlu membangun pertahanan berlapis yang mencakup teknologi, peraturan hukum, literasi media, dan pendidikan kewargaan.
![Foto yang diambil pada 8 Juni ini menunjukkan Presiden Taiwan Lai Ching-te (tengah) menghadiri latihan maritim di Kaohsiung. Pemimpin Taiwan telah menjadi sasaran deepfake kecerdasan buatan (AI) di tengah meningkatnya kampanye propaganda yang terkait dengan Tiongkok. [Yu Chen Cheng/AFP]](/gc9/images/2025/10/06/52295-afp__20250608__49l68km__v1__highres__taiwanpoliticsmaritimeexercise__1_-370_237.webp)