Oleh Jia Fei-mao |
Sektor kecerdasan buatan (AI) Tiongkok berkembang pesat, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa sektor ini dapat digunakan sebagai alat sensor.
Peluncuran model AI Tiongkok DeepSeek dan Manus tidak hanya mendongkrak pasar saham Tiongkok dan Hong Kong, tetapi juga menjadi simbol masuknya Beijing ke kancah AI global.
Tajuk rencana Global Times milik pemerintah Tiongkok pada 19 Februari menyatakan bahwa terobosan dan adopsi AI yang cepat di Tiongkok -- yang disebutnya "akselerasi Tiongkok" -- membantah anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok meredup.
Artikel tersebut lebih lanjut menegaskan bahwa melalui inisiatif seperti Belt and Road, kerja sama digital, dan proyek open-source internasional, pengaruh AI Tiongkok akan terus berkembang secara global.
Namun demikian, sisi lain dari ledakan AI ini adalah regulasi konten yang ketat.
Pengamat memperingatkan bahwa pemerintah Tiongkok mungkin menggunakan AI untuk secara sistematis merevisi sejarah, menghapus catatan pelanggaran hak asasi manusia, dan menyensor kritik terhadap Partai Komunis Tiongkok (PKT).
OpenAI pada 13 Maret mengirim surat ke Gedung Putih yang menyatakan bahwa "karena DeepSeek disubsidi negara, dikendalikan negara, dan tersedia secara gratis, biaya yang harus ditanggung penggunanya adalah privasi dan keamanan mereka."
Surat itu menyarankan agar pemerintah AS mempertimbangkan untuk melarang model yang dikembangkan oleh DeepSeek dan lembaga lain yang didukung oleh pemerintah Tiongkok.
Kebebasan informasi global
Mantan anggota DPR AS Loretta Sanchez dan Greg Walden juga memperingatkan risiko dominasi AI Tiongkok dalam opini di The Hill edisi 12 Maret.
"Pemenang perlombaan ini akan menentukan arah ekosistem digital global dan memutuskan mana yang diangkat, mana yang dibungkam, serta tata-nilai mana yang menjadi norma," tulis mereka.
Ketika ditanya tentang pembantaian Lapangan Tiananmen, model AI milik Tencent, Hunyuan, mengklaim bahwa "tidak ada yang meninggal, dan tidak terjadi pembantaian." Sementara Qwen milik Alibaba menghapus pertanyaan tersebut tanpa menjawab, tulis para penulis, mengutip studi The American Edge Project.
AI Tiongkok menghindari pembahasan Peristiwa Tiananmen dan menolak mengomentari pemimpin Tiongkok Xi Jinping, namun bebas mengkritik politik AS dan presidennya.
Ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi "standar ganda" yang dirancang agar selaras dengan narasi PKT, imbuh mereka.
Sanchez dan Walden lebih lanjut memperingatkan: "Jika AI Tiongkok menjadi standar, PKT akan memiliki pengaruh geopolitik ekstensif, meraup untung triliunan dolar, merusak kebebasan berekspresi di seluruh dunia, serta membentuk budaya yang penuh kontrol, sensor, dan propaganda—sekaligus merevisi sejarah."
Tiongkok memperketat regulasi AI, mewajibkan konten yang dihasilkan AI "mematuhi nilai inti sosialis dan tidak memproduksi konten yang memicu subversi, menggulingkan sistem sosialis, atau membahayakan keamanan dan kepentingan nasional," tutur Tzeng Yi-suo, peneliti madya di INDSR Taiwan, kepada Focus.
Kebangkitan AI di Tiongkok bukan sekadar masalah teknologi—ini soal masa depan kebebasan informasi global, katanya.
Jika AI Tiongkok menjadi standar global, sensor dan pengawasan data dapat melampaui batas negara, menjangkau setiap sudut dunia, pungkas Tzeng.