Hiburan

Beijing membatalkan semua konser Jepang seiring meningkatnya ketegangan diplomatik

Serangkaian pembatalan konser di Tiongkok mengubah perselisihan diplomatik dengan Tokyo menjadi pertarungan tingkat tinggi mengenai budaya pop Jepang dan kebebasan berekspresi.

Konfeti berjatuhan saat penyanyi pop Jepang Ayumi Hamasaki dan para penarinya memberi hormat di atas panggung di Shanghai pada 29 November. Ia tampil di hadapan lebih dari 14.000 kursi kosong. [Ayumi Hamasaki/X]
Konfeti berjatuhan saat penyanyi pop Jepang Ayumi Hamasaki dan para penarinya memberi hormat di atas panggung di Shanghai pada 29 November. Ia tampil di hadapan lebih dari 14.000 kursi kosong. [Ayumi Hamasaki/X]

Oleh Chen Wei-chen |

Saat lampu menyala di Shanghai Oriental Sports Center pada 29 November, bintang pop Jepang Ayumi Hamasaki berdiri sendirian di atas panggung, tampil di hadapan lebih dari 14.000 kursi kosong.

Pada malam sebelum pertunjukan, pihak berwenang Tiongkok mendadak membatalkannya, dengan dalih “force majeure.”

Meskipun kru mulai membongkar panggung, Hamasaki tetap menuntaskan seluruh penampilannya, membungkuk bersama stafnya di hadapan deretan kursi kosong seusai pertunjukan. Di bawah sorotan lampu, konfeti berterbangan di udara.

Lewat postingan di Facebook, Hamasaki menyampaikan bahwa kendati tampil di hadapan “14.000 kursi yang kosong,” ia tetap merasakan “cinta yang luar biasa” dari para penggemarnya.

Bintang pop Jepang Ayumi Hamasaki tampil di Beijing pada 1 November dalam persinggahan pertamanya di Tiongkok untuk tur Asia, hanya beberapa hari sebelum hubungan Tiongkok–Jepang memburuk akibat pernyataan Tokyo mengenai kemungkinan konflik terkait Taiwan. [Ayumi Hamasaki/X]
Bintang pop Jepang Ayumi Hamasaki tampil di Beijing pada 1 November dalam persinggahan pertamanya di Tiongkok untuk tur Asia, hanya beberapa hari sebelum hubungan Tiongkok–Jepang memburuk akibat pernyataan Tokyo mengenai kemungkinan konflik terkait Taiwan. [Ayumi Hamasaki/X]
Tangkapan layar video yang viral memperlihatkan penyanyi tema "One Piece" dari Jepang, Maki Otsuki, dihentikan saat konser di Tiongkok pada 28 November. Di kiri terlihat dua petugas berpakaian hitam berusaha merebut mikrofonnya; gambar kanan menunjukkan ekspresinya yang terkejut saat dikerubuti di panggung. [X.com]
Tangkapan layar video yang viral memperlihatkan penyanyi tema "One Piece" dari Jepang, Maki Otsuki, dihentikan saat konser di Tiongkok pada 28 November. Di kiri terlihat dua petugas berpakaian hitam berusaha merebut mikrofonnya; gambar kanan menunjukkan ekspresinya yang terkejut saat dikerubuti di panggung. [X.com]

"Hiburan seharusnya menjadi jembatan yang menghubungkan manusia," ujarnya.

Konser tanpa penonton ini berlangsung di tengah ketegangan diplomatik yang sedang terjadi antara Tiongkok dan Jepang atas Taiwan sekaligus menunjukkan aksi balasan Tiongkok terhadap Jepang kini meluas hingga sektor budaya.

Pada awal November, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengatakan di parlemen bahwa “situasi darurat di Taiwan dapat menjadi krisis eksistensial nasional” bagi Jepang.

Pernyataan itu memicu kemarahan di Beijing. Setelah melancarkan serangkaian jurus diplomatik, otoritas Tiongkok mulai membatalkan pertunjukan artis-artis Jepang.

Bernyanyi di hadapan kursi kosong

Foto-foto "konser tanpa penonton” dengan cepat tersebar luas di dunia maya.

The Paper, outlet media Tiongkok yang memiliki hubungan dengan negara, menuduh konser itu bohongan, menyatakan foto-fotonya diambil secara diam-diam saat latihan.

Di tengah sengketa yang memanas, Mika Takahashi, penata rias Hamasaki, memastikan secara daring bahwa konser tersebut memang benar-benar digelar tanpa penonton.

Maki Otsuki, penyanyi Jepang yang populer dengan lagu tema anime “One Piece,” mengalami kejadian serupa satu hari sebelumnya.

Tak lama setelah Maki Otsuki mulai tampil di Bandai Namco Festival di Shanghai pada 28 November, lampu, layar, dan musik tiba-tiba dipadamkan. Dua petugas berpakaian hitam naik ke panggung, merampas mikrofon, dan mengawal Otsuki keluar di hadapan penggemar yang terperangah.

Pihak penyelenggara setelahnya mengumumkan pertunjukan dibatalkan dengan alasan yang sama, sehingga seluruh jadwal acara hari itu dihentikan.

Video insiden tersebut dengan cepat tersebar luas dan menjadi viral di seluruh dunia.

"Ini adalah cara paling tidak beradab yang dilakukan lembaga sensor Tiongkok untuk membatalkan konser," ujar seorang netizen di X.

Seorang pengguna dari Taiwan mengatakan langkah itu menunjukkan “pihak yang berkuasa… tidak dapat menenggang kebebasan, termasuk lagu sekalipun.”

“Force majeure” kini menjadi dalih yang kerap dipakai otoritas Tiongkok untuk membatalkan kegiatan budaya Jepang. Antara akhir November dan awal Desember, lebih dari 20 acara bertema Jepang dibatalkan tanpa peringatan.

Saat Yoshio Suzuki, musisi jazz berusia 80 tahun, tengah mempersiapkan penampilannya di Beijing, polisi berpakaian preman menyampaikan kepada pemilik tempat bahwa setiap acara yang melibatkan peserta Jepang dilarang.

Warga Jepang bersatu mendukung artis mereka

Dalam postingan terbaru di X, Takaichi berupaya menggalang dukungan negaranya untuk melawan reaksi negatif Tiongkok, dengan tekad “mewujudkan masa depan di mana musik Jepang dapat berkumandang di berbagai pasar seperti Asia, Eropa, dan Amerika Utara.”

Sejumlah media di Jepang memandang pembatalan acara ini sebagai tekanan yang dilakukan secara sengaja.

Shinichiro Azumi, seorang pembawa acara di TBS Television, mengatakan Tiongkok ingin memaksa pemerintahan Takaichi untuk melakukan kompromi.

Akio Yaita, seorang jurnalis, menuturkan di Facebook bahwa “cara paksa yang serampangan ini memperlihatkan sikap pemerintah Tiongkok yang tidak menghormati seni dan hak asasi manusia.”

Yaita menambahkan sejumlah besar netizen Jepang “mengecam keras tindakan pemerintah Tiongkok” dan berpendapat “Jepang tidak boleh menyerah terhadap perilaku brutal semacam itu.”

Menurut cuitan kolumnis Bloomberg Gearoid Reidy, upaya menghalangi J-pop dan anime serta menyerang hiburan populer “justru memberikan kemenangan bagi PM Sanae Takaichi dan memperlihatkan kepada dunia pihak mana yang menghargai kebebasan berekspresi,” sementara Beijing mempertaruhkan reputasinya di mata dunia.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *