Oleh Kao Tzu-chiao |
"[Saya] orang Taiwan, tentu saja! Tidak diragukan lagi!", kata Chen Yun tanpa ragu saat Focus menanyakan identitasnya.
Namun, jika waktu diputar kembali ke sekitar tahun 2010, jawabannya mungkin akan berbeda.
Sekitar tahun 2010, Chen Yun, yang berbicara dengan nama samaran, pergi ke Shanghai untuk mencari kerja. Saat itu, kesan dia terhadap Tiongkok biasa saja, tidak positif maupun negatif.
"Ada peluang cari duit, apa salahnya dicoba," katanya. Saat itu, rasa identitasnya tidak begitu kuat. "Saya menganggap diri saya sebagai orang Taiwan, tetapi saya juga tidak akan keberatan jika disebut sebagai orang Tiongkok."
![Foto 13 Januari 2024 di Taipei, Taiwan, menunjukkan pemilih muda Taiwan bersorak di acara pemantauan hasil pemilu presiden terpilih Lai Ching-te. Partai Progresif Demokrat (DPP) yang dipimpin Lai menganggap Taiwan terpisah dari Tiongkok dan mendorong identitas nasional yang terpisah. Sebagian besar warga Taiwan menganggap diri mereka terutama sebagai orang Taiwan, bukan Tiongkok. [Jimmy Beunardeau/Hans Lucas via AFP]](/gc9/images/2025/03/24/49721-afp__20240113__hl_jbeunardeau_2257848__v1__highres__taiwan2024presidentialelectionwi-370_237.webp)
Namun, sejak Xi Jinping menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok pada 2012, tekanan Beijing terhadap Taiwan semakin meningkat.
Ancaman militer yang sering terjadi serta retorika penyatuan secara paksa, menyebabkan Chen Yun mengubah pandangannya.
Beijing ingin memusnahkan Republik Tiongkok (Tionghoa Binkok; Taiwan)," kata Chen Yun.
“Saya bukan pendukung kemerdekaan Taiwan, tapi saya tidak bisa diam saja melihat Taiwan dicaplok oleh tetangga seberang selat. Saya sama sekali tidak ingin menjadi orang Tiongkok.”
Pergeseran identitas
Pergeseran pola pikir Chen Yun mencerminkan perubahan yang lebih luas soal identitas warga Taiwan dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak 1992, Election Study Center di National Chengchi University (NCCU) melakukan survei tahunan tentang identitas diri warga Taiwan. Hasil pada Februari 2024 menunjukkan bahwa hanya 2,4% responden yang mengidentifikasi diri sebagai "orang Tiongkok" — angka terendah sejak 1992. Sementara itu, mereka yang mengidentifikasi diri sebagai "orang Taiwan" mencapai 63,4%, menandai empat tahun berturut-turut di atas angka 60%.
Tahun 2005 menjadi titik balik dalam identitas warga Taiwan.
Pada bulan Maret tahun itu, Beijing mengesahkan Undang-Undang Anti-Pemisahan, yang secara eksplisit mengizinkan Tiongkok menggunakan kekuatan militer jika Taiwan mendeklarasikan kemerdekaan, jika terjadi insiden besar terkait pemisahan Taiwan, atau jika penyatuan secara damai dianggap mustahil.
Tahun lalu, Beijing mengeluarkan "22 pedoman" yang menetapkan hukuman berat bagi aktivis kemerdekaan Taiwan, termasuk hukuman mati.
"Boleh dikata Beijing mengarahkan rudal ke arah kami. Bagaimana mungkin saya bisa merasa sebagai orang Tiongkok?" kata Yang Chien, yang sebelumnya sering mengunjungi Tiongkok untuk program pertukaran dan menggunakan nama samaran.
Dulu, Yang Chien menyebut negeri di seberang di Selat Taiwan sebagai "Tiongkok daratan", tetapi sekarang Yang Chien hanya menyebutnya sebagai "Tiongkok". "Karena tempat itu sangat berbeda sekali dengan Taiwan," jelasnya.
Chen Yun, di sisi lain, kini mengambil tindakan pencegahan ekstra saat bepergian ke Shanghai untuk urusan bisnis. Chen Yun membawa ponsel sekali pakai yang baru dan meninggalkan ponsel utamanya di Taiwan untuk menghindari masalah.
Insiden pemeriksaan warga Taiwan oleh bea cukai Tiongkok sering terjadi dan mengkhawatirkan, kata Chen Yun.
Chen Yun mencontohkan Fu Cha, pemimpin redaksi Gusa Publishing.
Li Yanhe, yang dikenal dengan nama pena Fu Cha, pindah dari Shanghai ke Taiwan bersama istrinya pada 2009. Setelah mengunjungi kerabatnya di Tiongkok pada Maret 2023, Li Yanhe dilaporkan menghilang.
Baru pada 17 Maret tahun ini, Kantor Urusan Taiwan Tiongkok mengonfirmasi bahwa Li Yanhe telah didakwa dengan tuduhan "menghasut pemisahan negara" dan dijatuhi hukuman.
“Pemerintahan represif”
Lin Fei, yang pernah menghabiskan satu tahun sebagai mahasiswa pertukaran di Universitas Peking, mengakui kecintaannya pada budaya Tiongkok, tetapi mengatakan bahwa sistem di kedua sisi Selat Taiwan sangat berbeda.
"Saya tidak ingin tinggal di sana di bawah kekuasaan Partai Komunis Tiongkok."
“Ini sangat berkaitan dengan pemerintahan Xi Jinping yang represif,” kata Wang Hung-jen, direktur Institute for National Policy Research.
Pendekatan “perang urat saraf dan intimidasi militer” Beijing terhadap Taiwan, ditambah dengan represi terhadap protes Hong Kong 2019-2020, memicu ketidaksukaan mendalam terhadap sistem Tiongkok di kalangan masyarakat Taiwan, kata Wang Hung-jen.
Perubahan yang terjadi di Hong Kong menjadi peringatan keras bagi Taiwan, memperdalam kekhawatiran bahwa kebebasan dapat dicabut kapan saja di bawah kekuasaan Beijing.
"Awalnya, generasi muda Taiwan tidak begitu peduli dengan identitas," tambah Wang. "Namun, setelah mengunjungi Tiongkok, sebagian menyadari bahwa masyarakat di sana sangat berbeda dari yang mereka bayangkan."
Wang menyimpulkan bahwa rasa kekecewaan ini mendorong makin banyak warga Taiwan yang menyatakan diri mereka hanya sebagai "orang Taiwan", bukan "orang Tiongkok."