Oleh Li Hsien-chih |
Pada 8 Mei, Taiwan memperingati ulang tahun ke-80 berakhirnya Perang Dunia II di Eropa dengan menyelenggarakan upacara Hari Kemenangan di Eropa yang pertama kalinya.
Presiden William Lai Ching-te berpidato di depan perwakilan 17 negara Eropa dan Uni Eropa yang menekankan bahwa Taiwan dan Eropa menghadapi ancaman dari "blok otoriter baru".
Dia mengimbau negara-negara demokratis bersatu melawan agresi dan ekspansi otoriter.
Sikap peredaan hanya membuat agresor makin menjadi-jadi, katanya.
![Presiden Tiongkok Xi Jinping (baris depan, kedua dari kanan) berdiri di samping Presiden Rusia Vladimir Putin (paling kanan) di parade Hari Kemenangan pada 9 Mei di Moskow, yang menandai peringatan 80 tahun kemenangan Soviet dalam Perang Dunia II. [Gavriil Grigorov/Pool/AFP]](/gc9/images/2025/05/22/50500-afp__20250509__463887e__v2__highres__russiahistorywwiianniversaryparade-370_237.webp)
Pengalaman pahit PD II mengajarkan dunia bahwa kebebasan dan demokrasi harus dilindungi dengan kekuatan, katanya.
Lai memperingatkan jangan lagi terulang kebijakan peredaan. Agresi tidak boleh dipandang enteng, katanya.
Sistem kerja sama antar-negara demokrasi sejak PD II bukan sekadar produk sejarah, tetapi landasan untuk menghadapi ekspansi otoriter saat ini, katanya.
Lai menegaskan kembali ancaman "blok otoriter baru" dan mendesak negara demokrasi agar "bekerja bahu-membahu sekarang, sebelum risiko berubah menjadi krisis dan sebelum krisis dimanfaatkan oleh pihak yang berambisi melakukan ekspansi."
Pernyataan Lai menunjukkan bahwa Taiwan bukan cuma masalah regional Asia, tetapi juga mitra demokrasi penting dalam melawan ekspansi otoriter Rusia dan Tiongkok yang kian meningkat, kata pengamat.
Pengalaman Eropa dalam PD II memberikan pelajaran penting untuk situasi saat ini, kata Tan Yao-nan, direktur jenderal Cross-Strait Policy Association di Taiwan.
Dalam wawancara dengan CommonWealth Magazine, dia sependapat dengan Lai yang menyoroti kegagalan kebijakan peredaan Barat membendung Nazi Jerman.
Negara-negara Barat mengharapkan perjanjian damai dan konsesi untuk menjamin stabilitas, tetapi malah mendapatkan perang total, katanya.
Menulis ulang sejarah
Saat ini, Taiwan menghadapi berbagai tantangan keamanan dari Tiongkok.
Termasuk di antaranya adalah serangan mendadak pesawat dan kapal PLA, dugaan sabotase kabel bawah laut, pemaksaan ekonomi, dan perang informasi terus-menerus, yang semuanya membentuk ancaman menyeluruh.
Kontras dari perayaan demokrasi di Taipei, Presiden Tiongkok Xi Jinping menghadiri parade militer Hari Kemenangan Rusia pada 9 Mei. Dia berdiri di samping Presiden Rusia Vladimir Putin, yang memerintahkan invasi ke Ukraina.
Sebelum ke Moskow, Xi menerbitkan artikel yang ditandatangani di surat kabar pemerintah Russian Gazette, yang menyatakan, "Pengembalian Taiwan ke Tiongkok merupakan hasil kemenangan PD II dan bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan internasional pascaperang."
Deklarasi Kairo dan Proklamasi Potsdam "menegaskan kedaulatan Tiongkok atas Taiwan," katanya, seraya menambahkan bahwa kewenangan Resolusi Majelis Umum PBB 2758 "tidak dapat diganggu gugat" dan bahwa tren menuju "penyatuan kembali yang tak terelakkan" dengan Taiwan "tidak dapat dihentikan".
Resolusi 2758, disahkan pada tahun 1971, mengakui Beijing di PBB dan mengeluarkan Taipei.
Republik Tiongkok (Taiwan) merupakan salah satu negara Sekutu yang mengalahkan Nazi Jerman dalam PD II, dan menjadikan anti-fasisme sebagai norma global, demikian kata Chang Kuo-cheng, anggota penasihat Taiwan Think Tank, kepada Focus.
Republik Tiongkok kalah dalam perang saudara Tiongkok pada tahun 1949, dan para pemimpinnya melarikan diri ke Taiwan.
Kehadiran perwakilan Eropa dalam acara peringatan di Taipei menegaskan sumbangan sejarah Republik Tiongkok 80 tahun yang lalu, kata Chang.
Klaim Xi hendak mengubah kisah sejarah dan memutarbalikkan norma hukum internasional, tambahnya.
Mesin waktu Beijing
Deklarasi Kairo (1943) dan Proklamasi Potsdam (1945) menyatakan Jepang harus mengembalikan Taiwan ke Republik Tiongkok, kata Chang.
Sementara, Republik Rakyat Tiongkok baru berdiri pada tahun 1949, maka negara itu belum ada pada saat deklarasi ini dibuat, tambahnya.
Pernyataan terbaru Xi muncul saat Tiongkok terus menghalangi keperansertaan Taiwan dalam Majelis Kesehatan Dunia WHO tahun ini. Alasannya Partai Progresif Demokrat yang berkuasa di Taiwan "bersikeras berpegang pada posisi separatisme kemerdekaan Taiwan" dan bahwa pemblokiran itu mendapat dukungan internasional.
Resolusi PBB yang relevan, seperti Resolusi 2758, tidak menyebutkan Taiwan, juga tidak memberikan wewenang kepada Tiongkok untuk mewakilinya, kata Kementerian Luar Negeri Taiwan.
Justifikasi hukum Beijing tidak berdasar, katanya.
Pada awal Mei, DPR AS meloloskan Undang-Undang Solidaritas Internasional Taiwan dengan suara bulat.
Undang-undang tersebut secara tegas menyatakan bahwa Resolusi Majelis Umum PBB 2758 tidak membahas perwakilan Taiwan atau rakyatnya di PBB. Undang-undang tersebut juga menyerukan AS agar menggunakan pengaruhnya melawan upaya Beijing yang salah menafsirkan resolusi internasional di organisasi dunia.