Diplomasi

Ketegangan Tiongkok-Jepang atas Taiwan memanas setelah telepon Xi-Trump dan rencana penempatan rudal

Konflik Beijing dengan Tokyo atas Taiwan merembet ke Washington, PBB, dan penempatan rudal, sementara dukungan rakyat Jepang terhadap PM Sanae Takaichi tetap kuat.

Presiden Tiongkok Xi Jinping (ki) dan PM Jepang Sanae Takaichi (ka). Perang mulut terkait Taiwan membuat hubungan Tiongkok-Jepang paling buruk dalam beberapa tahun terakhir. [Kiri: Maxim Shemetov/Pool/AFP] [Kanan: Jiji Press/AFP]
Presiden Tiongkok Xi Jinping (ki) dan PM Jepang Sanae Takaichi (ka). Perang mulut terkait Taiwan membuat hubungan Tiongkok-Jepang paling buruk dalam beberapa tahun terakhir. [Kiri: Maxim Shemetov/Pool/AFP] [Kanan: Jiji Press/AFP]

Oleh Wu Qiaoxi |

Sengketa Taiwan yang dibahas di telepon dengan Trump dan penempatan rudal di dekat pulau itu, ditambah perselisihan dua minggu dengan Jepang membawa hubungan Tiongkok-Jepang ke titik terparah sejak demo massal anti-Jepang tahun 2012.

Tiongkok menganggap Taiwan sebagai provinsi pembangkang. Tiongkok tidak menafikan penggunaan militer untuk menguasainya, meskipun Partai Komunis Tiongkok tidak pernah memerintah Taiwan.

Ketegangan terkini dimulai awal November setelah PM baru Jepang, Sanae Takaichi, mengusulkan di parlemen bahwa Tokyo dapat melakukan intervensi militer jika Tiongkok menyerang Taiwan, menghilangkan ambiguitas para pemimpin sebelumnya. Pernyataan itu melanggar "garis merah" dan merupakan tantangan paling terbuka Jepang terhadap kepentingan utama Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir.

Tiongkok membawa perselisihan itu ke PBB. Duta besarnya, Fu Cong, menuduh Takaichi melakukan "pelanggaran berat hukum internasional" dalam surat kepada Sekjen PBB António Guterres.

Menhan Jepang Shinjiro Koizumi memantau latihan dari pesawat angkut C-2 dalam perjalanan menuju Pulau Miyako pada 22 November, saat menginspeksi pasukan di dekat Taiwan. [Shinjiro Koizumi/X]
Menhan Jepang Shinjiro Koizumi memantau latihan dari pesawat angkut C-2 dalam perjalanan menuju Pulau Miyako pada 22 November, saat menginspeksi pasukan di dekat Taiwan. [Shinjiro Koizumi/X]

Jepangmengancam akan melakukan "intervensi bersenjata" atas Taiwan, ujar sang utusan. Hal itu merupakan tindakan agresi yang dapat memicu hak bela diri Tiongkok berdasarkan Piagam PBB, ia memperingatkan.

Jepang juga telah mengirimkan surat. Surat itu membela komentar Takaichi karena sejalan dengan hukum dan kebijakan yang berlaku.

Menlu Tiongkok Wang Yi mempertajam pesan itu. Dia menuduh Jepang mengirimkan "sinyal keliru berupa upaya intervensi militer dalam masalah Taiwan" dan mengatakan Tiongkok harus "menanggapi dengan tegas".

Menelepon Washington

Presiden Xi kembali mengangkat isu Taiwan di telepon dengan Presiden Trump pada 24 November. Kembalinya Taiwan ke Tiongkok merupakan "bagian integral dari tatanan internasional pascaperang" yang dibentuk melalui perjuangan bersama melawan "fasisme dan militerisme," ujar Xi.

Pulau Taiwan adalah "negara yang berdaulat penuh" dan "tidak ada opsi untuk dikembalikan," balas PM Taiwan Cho Jung-tai.

Trump setelahnya memuji hubungan AS-Tiongkok yang "sangat kuat" dalam unggahan medsos, tetapi tidak menyebut Taiwan. Takaichi mengatakan kepada wartawan bahwa dia juga berbicara dengan Trump mengenai telepon Xi dan masalah aliansi.

Titik panas di pulau lain

Pada saat bersamaan, pulau terpencil Jepang di dekat Taiwan menjadi titik panas terbaru. Menhan Shinjiro Koizumi pada 22 November mengonfirmasi bahwa rencana penempatan rudal darat-ke-udara jarak menengah di Pulau Yonaguni berjalan sesuai rencana, dan penempatan itu "dapat mengurangi kemungkinan serangan bersenjata terhadap Jepang."

Kemenlu Tiongkok mengecam rencana itu. Mereka menyebutnya "upaya sengaja untuk menciptakan ketegangan regional dan memprovokasi konfrontasi militer."

Yonaguni telah menjadi pangkalan Pasukan Bela Diri sejak tahun 2016, dan Tokyo berencana menempatkan rudal permukaan-ke-udara jarak menengah tipe 03 (Chu-SAM) di sana sebagai pertahanan anti-rudal dan pesawat. Taiwan menyambut baik langkah itu, menyebut penguatan Yonaguni "membantu menjaga keamanan di Selat Taiwan."

Pada 24 November, Jepang melaporkan dugaan penerbangan drone Tiongkok antara Yonaguni dan Taiwan, menunjukkan pertikaian diplomatik ini merembet ke ranah militer.

Drone yang diyakini milik Tiongkok melintasi daerah itu dan unit udara regional mengerahkan jet tempur sebagai respons, kata Kemenhan Tokyo.

Upaya Tiongkok menghukum Jepang

Beijing pun menggunakan jalur ekonomi dan diplomatik. Mulai dari larangan impor makanan laut hingga peringatan perjalanan, pembatalan tur kelompok, pembatalan penerbangan ke Jepang, sampai penundaan pertemuan tingkat menteri dan budaya, tindakan Tiongkok telah menekan industri pariwisata, peluncuran film, dan pertukaran lainnya, sementara Beijing menggalang dukungan untuk "satu Tiongkok".

Ketegangan terlihat jelas pada KTT G20 baru-baru ini di Afsel. Takaichi tidak mendapatkan kesempatan berbicara dengan PM Tiongkok Li Qiang. Kedua pemimpin berdekatan saat sesi foto bersama, tetapi tidak menunjukkan tanda interaksi. Setelah KTT, Takaichi mengatakan niat Jepang untuk membangun "hubungan yang saling menguntungkan, konstruktif, dan stabil tetap tidak berubah" dan Jepang "terbuka untuk berdialog di berbagai tingkatan."

Analis mengatakan ketegangan ini mengingatkan pada peristiwa tahun 2012, ketika nasionalisasi pulau sengketa oleh Jepang memicu protes anti-Jepang yang sengit dan serangan terhadap merek Jepang di kota-kota Tiongkok. Kali ini, Beijing mampu meredam kemarahan publik dan menggunakan sinyal militer dan tekanan ekonomi yang terukur. Dengan kedua negara mempertahankan sikapnya, para pengamat mengatakan risikonya adalah ketegangan jangka panjang, alih-alih gejolak jangka pendek.

Kabinet Takaichi terus menikmati dukungan publik yang kuat, dengan tingkat persetujuan 75,2%, menurut jajak pendapat Sankei Shimbun/FNN yang dilakukan pada 22 dan 23 November.

Sebanyak 61% responden menganggap pernyataan PM mengenai Taiwan sudah tepat.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *