Ekonomi

Monopoli mineral Tiongkok makin ketat: Industri Indo-Pasifik berebut cari alternatif

Pengekangan terbaru dari Tiongkok atas ekspor mineral krusial mengganggu rantai pasokan di seluruh Asia dan mengisyaratkan kesediaan Tiongkok menjadikan ketergantungan dunia sebagai senjata demi keuntungan geopolitik.

Foto yang diambil pada 12 Oktober tahun lalu ini menunjukkan para pengunjung sedang melihat kotak penyimpanan paduan titanium untuk wahana bulan Chang'e di Chang'e di Advanced Materials Industry Expo ke-9 Tiongkok tahun 2024 di Qingdao. Tiongkok baru saja menerapkan pembatasan ekspor logam tertentu yang krusial, termasuk paduan titanium. [CFOTO/NurPhoto via AFP]
Foto yang diambil pada 12 Oktober tahun lalu ini menunjukkan para pengunjung sedang melihat kotak penyimpanan paduan titanium untuk wahana bulan Chang'e di Chang'e di Advanced Materials Industry Expo ke-9 Tiongkok tahun 2024 di Qingdao. Tiongkok baru saja menerapkan pembatasan ekspor logam tertentu yang krusial, termasuk paduan titanium. [CFOTO/NurPhoto via AFP]

Oleh Focus |

Tiongkok, dengan menerapkan pembatasan ekspor baru untuk mineral krusial, memperluas larangan yang dijatuhkan pada bulan Desember lalu untuk teknologi magnet nadir bumi dan membuat kawasan berebut mencari alternatif.

Larangan terbaru ini, yang diumumkan pada 4 April, membidik unsur krusial seperti disprosium, terbium, dan samarium -- bahan yang sangat penting untuk teknologi, mulai dari ponsel pintar dan penggerak kendaraan listrik (electric vehicle, EV) hingga senjata presisi dan turbin angin.

Pengetatan kendali ekspor ini menimbulkan guncangan di seluruh dunia Barat dan jantung industri Asia, terutama Jepang, Korea Selatan, dan India.

Semua negara yang mengandalkan mineral tersebut kini menghadapi peningkatan biaya, gangguan jadwal, dan peningkatan kerentanan.

Foto yang diambil pada 16 April lalu ini menunjukkan seorang karyawan sedang menangani peluru kaliber 155 mm di sebuah pabrik amunisi di Pennsylvania. Produksi peluru tersebut membutuhkan mineral kritis dan logam nadir bumi. [Charly Triballeau/AFP]
Foto yang diambil pada 16 April lalu ini menunjukkan seorang karyawan sedang menangani peluru kaliber 155 mm di sebuah pabrik amunisi di Pennsylvania. Produksi peluru tersebut membutuhkan mineral kritis dan logam nadir bumi. [Charly Triballeau/AFP]
Tiongkok adalah penghasil teratas untuk 29 dari 50 mineral yang digolongkan krusial oleh Survei Geologi AS, termasuk unsur nadir bumi, grafit, dan litium. [International Energy Agency/CSIS]
Tiongkok adalah penghasil teratas untuk 29 dari 50 mineral yang digolongkan krusial oleh Survei Geologi AS, termasuk unsur nadir bumi, grafit, dan litium. [International Energy Agency/CSIS]
Tiongkok mengendalikan hampir 90% kapasitas pengolahan unsur nadir bumi dunia dan mengilang lebih dari 90% grafit dunia menjadi bahan anode baterai. [International Energy Agency/CSIS]
Tiongkok mengendalikan hampir 90% kapasitas pengolahan unsur nadir bumi dunia dan mengilang lebih dari 90% grafit dunia menjadi bahan anode baterai. [International Energy Agency/CSIS]

Tiongkok sudah lama mendominasi pasar dalam hal mineral krusial.

Tiongkok diam-diam memperkuat keunggulannya selama bertahun-tahun, terutama di alir tengah -- pengilangan dan pengolahan. Menurut Survei Geologi AS, Tiongkok menghasilkan 60% unsur nadir bumi dunia pada tahun 2023 tetapi menyumbang hampir 90% pengolahannya.

Cengkeramannya bahkan makin ketat untuk sejumlah bahan tertentu: Tiongkok mengilang lebih dari 90% galium dunia serta memegang posisi dominan di rantai pasokan grafit dan germanium.

Reuters melaporkan pada 4 April bahwa Tiongkok "telah menguasai proses pengilangan yang sulit secara teknis dan berbahaya bagi lingkungan."

Bahkan negara yang kaya sumber daya seperti Australia dan Republik Demokratik Kongo sering mengekspor bahan mentah mereka ke Tiongkok untuk pengolahan akhir.

Ancaman yang meningkat

Volume mineral krusial yang rendah dan dominasi Tiongkok atas pengolahan alir tengah memungkinkan Beijing memanipulasi penawaran dan permintaan dunia melalui praktik non-pasar, disebutkan oleh DevTech dalam laporan yang terbit pada bulan Februari.

"Tiongkok sudah berulang kali menunjukkan kesediaannya untuk menjadikan berbagai mineral ini sebagai senjata," demikian yang diperingatkan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada bulan yang sama.

Unsur nadir bumi di bawah pembatasan baru, sangatlah penting untuk magnet berkinerja tinggi yang digunakan pada ponsel pintar, EV, dan sistem pertahanan. Perusahaan seperti Apple, Tesla, Lockheed Martin, dan Boeing bergantung besar pada sejumlah unsur yang baru saja dibatasi.

Jepang salah satu negara pertama yang menyerukan kecemasan atas ketergantungannya pada Tiongkok.

Di dalam laporan Sustainability Times bulan April 2025, pejabat Jepang menggambarkan "perang siluman" atas galium, komponen strategis dalam semikonduktor dan pembuatan baterai. Jepang adalah konsumen galium terbesar di dunia.

Antara Agustus 2023 dan Agustus 2024, impor galium Jepang dari Tiongkok menyusut hampir 85% setelah adanya pembatasan ekspor Tiongkok, yang memaksa produsen berebut mencari alternatif.

Perusahaan besar teknologi Korea Selatan -- termasuk Samsung, LG, dan SK On -- juga sangat bergantung pada rantai pasokan mineral Tiongkok.

Meskipun Seoul telah meluncurkan prakarsa untuk mendapatkan bahan dari Australia dan Afrika serta meningkatkan daur ulang dalam negeri, para analis memperingatkan bahwa pengalihan ini akan berjalan lama dan mahal.

India, yang menghasilkan hanya 2.900 ton unsur nadir bumi pada tahun 2024, khususnya menjadi rentan. Ambisinya untuk menjadi hub global untuk EV dan elektronik, kini menghadapi rintangan baru.

Potensi perluasan pembatasan Tiongkok yang mencakup teknologi pengolahan litium atau galium -- disinggung pada awal 2025 -- dapat menghalangi sektor pengembangan baterai India yang masih baru.

Alat strategis

Hal yang membuat pembatasan ini manjur sekali adalah dampak luar wilayahnya. Pesan Beijing terdengar jelas: mereka bersedia menggunakan kendali atas aliran mineral sebagai alat strategis.

Semua pemerintah menanggapi hal ini dengan kepentingan mendesak. Jepang mempercepat penimbunan barang dan penganekaragaman rantai pasokan. India memperluas kemitraan nadir bumi dengan Australia dan Vietnam. Korea Selatan berinvestasi pada upaya daur ulang dan pengilangan dalam negeri.

Dengan Tiongkok yang mempertahankan posisi memimpin, tidak hanya di bidang pertambangan, tetapi juga di bidang pengilangan dan standar teknologi, tantangan bagi seluruh dunia menjadi jelas: mengamankan masa depan yang tidak terlalu bergantung pada satu pemasok yang semakin congkak.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *