Ekonomi

Negara-negara berkembang menghadapi 'gelombang besar' utang dari Tiongkok

Sebuah laporan baru dari Lowy Institute mengungkapkan bahwa negara-negara berkembang sedang menghadapi pembayaran utang ke Tiongkok yang mencapai rekor tertinggi.

Gerbang tol Phnom Penh di Jalan Tol Phnom Penh-Sihanoukville di Kamboja, difoto pada 18 Maret. Tiongkok, yang memegang sekitar $3,9 miliar (sekitar separuh) dari utang publik Kamboja, telah membiayai sejumlah proyek utama BRI seperti jalan tol ini. [Cheong Kam Ka/Xinhua via AFP]
Gerbang tol Phnom Penh di Jalan Tol Phnom Penh-Sihanoukville di Kamboja, difoto pada 18 Maret. Tiongkok, yang memegang sekitar $3,9 miliar (sekitar separuh) dari utang publik Kamboja, telah membiayai sejumlah proyek utama BRI seperti jalan tol ini. [Cheong Kam Ka/Xinhua via AFP]

Oleh AFP dan Focus |

Negara-negara termiskin di dunia menghadapi “gelombang besar” utang karena pembayaran ke Tiongkok mencapai rekor tertinggi pada 2025, menurut peringatan dari sebuah lembaga pemikir Australia dalam laporan baru mereka pada 27 Mei.

Arus pembayaran utang ke Tiongkok dari negara-negara berkembang diperkirakan mencapai total $35 miliar pada 2025 dan tetap tinggi hingga akhir dekade ini, menurut laporan yang diterbitkan oleh Lowy Institute.

Secara khusus, 75 negara termiskin dan paling rentan di dunia akan melakukan pembayaran utang tertinggi sepanjang sejarah sebesar sekitar $22 miliar ke Tiongkok pada tahun tersebut.

Menjelang tahun 2025, Tiongkok diperkirakan akan menjadi penerima lebih dari 30% dari seluruh pembayaran utang bilateral olehsejumlah negara berkembang, serta sekitar 25% dari negara berpendapatan rendah — melampaui jumlah yang dibayarkan kepada lembaga multilateral maupun kreditur swasta.

Infografik ini menunjukkan betapa drastisnya perubahan posisi Tiongkok dari pemberi pinjaman bersih menjadi penagih bersih pada tahun 2025, di mana negara-negara termiskin di dunia menghadapi pembayaran utang sebesar $22 miliar. [Lowy Institute]
Infografik ini menunjukkan betapa drastisnya perubahan posisi Tiongkok dari pemberi pinjaman bersih menjadi penagih bersih pada tahun 2025, di mana negara-negara termiskin di dunia menghadapi pembayaran utang sebesar $22 miliar. [Lowy Institute]

Gelombang pinjaman dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Tiongkok pada 2010-an telah membiayai pelabuhan laut, rel kereta api, jalan raya dan lainnya dari gurun di Afrika hingga wilayah tropis di Pasifik Selatan.

Program infrastruktur global yang didukung negara ini, yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping pada 2013, telah mendanai berbagai proyek—mulai dari pembangunan sekolah, jembatan, dan rumah sakit hingga jalan raya besar dan pelabuhan.

Tiongkok kemudian menjadi kreditor tunggal terbesar bagi 53 negara berkembang, serta menempati posisi lima besar kreditor utama di banyak negara lainnya.

Penagih utang

Namun, menurut institut tersebut, pinjaman baru mulai mengering dan kini lebih kecil dibandingkan dengan utang yang harus dibayar kembali oleh negara-negara berkembang.

“Negara-negara berkembang tengah kesulitan menghadapi gelombang besar pembayaran utang dan bunga kepada Tiongkok,” ujar peneliti Riley Duke kepada AFP.

“Mulai sekarang hingga akhir dekade ini, Tiongkok akan lebih berperan sebagai penagih utang ketimbang pemberi pinjaman bagi negara-negara berkembang,” ujar Duke.

Kementerian Luar Negeri Beijing menyatakan bahwa mereka “tidak mengetahui rincian” laporan tersebut, namun menegaskan bahwa “kerja sama investasi dan pembiayaan Tiongkok dengan negara-negara berkembang berjalan sesuai dengan konvensi internasional,” menurut AFP.

Juru bicara kementerian, Mao Ning, menyatakan bahwa “sejumlah kecil negara” berusaha menyalahkan Beijing atas jebakan utang yang menimpa negara-negara berkembang, namun “kebohongan tidak akan menutupi kebenaran.”

Lowy Institute menelusuri data dari Bank Dunia untuk menghitung kewajiban pembayaran negara-negara berkembang.

Analisis ini menegaskan bahwa posisi Tiongkok sebagai pemberi pinjaman bersih telah berubah dengan cepat. Tiongkok beralih dari menjadi penyedia pembiayaan bersih — yang berarti memberikan lebih banyak pinjaman daripada menerima pembayaran — menjadi beban bersih, “di mana pembayaran utang kini melebihi penyaluran pinjaman.”

Tiongkok hanya merilis data terbatas mengenai pinjaman BRI-nya, dan estimasi dari Lowy Institute kemungkinan jauh di bawah angka eksposur Tiongkok secara keseluruhan.

AidData memperkirakan pada 2021 bahwa Tiongkok memegang piutang sekitar $385 miliar dalam bentuk “utang tersembunyi,” menurut laporan The Diplomat tahun 2021.

Memperkuat pengaruh

Selain itu, laporan dari Lowy Institute menemukan bahwa pembayaran utang mulai membahayakan pengeluaran untuk rumah sakit, sekolah, dan penanganan perubahan iklim.

Tekanan untuk memenuhi pembayaran ini “menjadi beban keuangan yang sangat luar biasa bagi ekonomi negara berkembang,” tulis laporan itu.

Laporan tersebut juga menimbulkan pertanyaan, apakah Tiongkok bisa memanfaatkan utang ini sebagai alat untuk memperoleh "pengaruh geopolitik," terutama setelah Amerika Serikat memangkas bantuan luar negerinya.

Meskipun pinjaman dari Tiongkok menurun hampir di semua sektor, laporan tersebut menyebutkan dua bidang yang tampaknya justru berlawanan dengan tren tersebut.

Yang pertama adalah negara-negara seperti Honduras, Nikaragua, Kepulauan Solomon, Burkina Faso, dan Republik Dominika, yang menerima pinjaman skala besar baru dalam waktu 18 bulan setelah beralih pengakuan diplomatik dari Taiwan ke Tiongkok.

Yang lainnya adalah negara seperti Indonesia atau Brasil, di mana Tiongkok telah menandatangani kesepakatan pinjaman baru untuk memperoleh logam baterai atau mineral penting lainnya.

[Bagian II dari IV dalam seri tentang Belt and Road Initiative Tiongkok di Asia Tenggara]

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *