Oleh Focus |
Sengketa hukum terkait pembayaran PLTA ini menjadi pengingat yang menyentak akan beban ekonomi yang menyertai Prakarsa Jalur dan Sabuk (Belt and Road Initiative, BRI) Tiongkok di Laos.
Nam Ou Power, anak perusahaan Power Construction Corp. dari Tiongkok (PowerChina), mengajukan gugatan di Singapura terhadap Electricite du Laos (EdL), dilaporkan Reuters pada 5 Maret.
Menurut dokumen yang diajukan ke Pusat Arbitrase Internasional Singapura pada bulan Februari, EdL memiliki tunggakan sebesar $486,3 juta kepada PowerChina, ditambah bunga sekitar $65,8 juta.
Klaim ini terkait dengan tagihan bulanan dari Januari 2020 hingga Desember 2024.
![Foto yang diambil pada 29 Januari 2024, menunjukkan pemandangan Sungai Mekong di Luang Prabang, Laos. [Tang Chhin Sothy/AFP]](/gc9/images/2025/03/10/49446-afp__20240221__34j87hx__v1__highres__laosenvironmentheritagedam_1-370_237.webp)
Klaim ini juga mencakup tambahan kerugian $3 juta karena pembayaran dilakukan dalam mata uang kip Laos, bukan 85% dalam dolar AS sesuai kesepakatan.
Secara total, tunggakan ini setara dengan sekitar 4% dari PDB Laos.
Sengketa ini berasal dari proyek PLTA Sungai Jeram Nam Ou senilai $2,7 miliar, salah satu proyek energi terbesar di Laos.
Proyek ini mencakup tujuh PLTA sepanjang 350 km di Sungai Nam Ou dengan kapasitas produksi 1,27 GW, sekitar 7% dari total kapasitas energi Laos sebesar 18 GW.
Meskipun PLTA telah beroperasi sejak 2021, Laos kesulitan memenuhi kewajiban keuangannya.
Laos berinvestasi besar di 80 bendungan PLTA di Sungai Mekong dan anak-anak sungainya, sebagai bagian dari ambisi menjadi "baterai Asia Tenggara" dengan mengekspor listrik ke negara-negara tetangga.
Utang yang tidak mampu ditopang
Banyak dari proyek itu, termasuk Nam Ou, didanai melalui pinjaman Tiongkok di bawah kerangka BRI.
Namun, inisiatif-inisiatif ini membebani Laos dengan utang yang tidak mampu ditopang alih-alih memberikan manfaat ekonomi yang diharapkan.
Tiongkok saat ini memegang sekitar 76% dari total utang Laos. Selain PLTA, Tiongkok juga mendanai pembangunan infrastruktur Laos, termasuk jalur kereta cepat yang menghubungkan Laos dengan Tiongkok.
Proyek-proyek ini semakin memperburuk krisis keuangan Laos, dengan total utang publik hampir mencapai $14 miliar, setara dengan 118,3% dari PDB Laos tahun ini, menurut perkiraan Dana Moneter Internasional.
Sekitar $10,5 miliar dari jumlah ini adalah utang kepada Tiongkok.
Tekanan keuangan ini semakin parah akibat hiperinflasi dan depresiasi tajam kip Laos, yang kehilangan hampir tiga per lima nilai dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2025, inflasi Laos diperkirakan mencapai 23,7%.
Dengan meningkatnya beban utang, Laos menyerahkan kendali atas sebagian besar infrastruktur energinya kepada Tiongkok.
Pada tahun 2020, EdL mengalihkan mayoritas kendali divisi penyaluran kepada China Southern Power Grid sebagai bagian dari perjanjian restrukturisasi utang. Langkah ini secara efektif menempatkan jaringan listrik nasional Laos di bawah pengelolaan Tiongkok, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai kedaulatan dan ketergantungan ekonomi.
Gugatan terhadap EdL ini merupakan kasus pertama arbitrase internasional oleh badan usaha milik negara Tiongkok melawan badan usaha milik pemerintah Laos.
Kasus ini, meskipun belum ada tanggapan resmi dari Laos, menyoroti kerentanan keuangan bangsa tanpa garis pantai tersebut dan risiko yang ditimbulkan oleh investasi besar-besaran Tiongkok dalam infrastrukturnya.