Oleh Shirin Bhandari |
Postur pertahanan Filipina berubah signifikan dengan mengadopsi konsep "satu palagan" (medan laga) dari Jepang -- pendekatan terintegrasi yang memperlakukan Laut Tiongkok Timur dan Selatan sebagai satu zona strategis operasi militer.
Konsep ini, yang diusulkan pada tahun 2024 oleh Menteri Pertahanan Jepang saat itu, Gen Nakatani, mendesak Amerika Serikat agar memandang Laut Tiongkok Timur, Laut Tiongkok Selatan, semenanjung Korea, serta wilayah sekitarnya sebagai satu palagan terpadu.
Semenjak itu, Komando Operasi Gabungan Jepang telah menerapkan kerangka kerja ini, yang kini diikuti oleh Manila.
Menteri Pertahanan Filipina, Gilberto Teodoro, mengumumkan semasa taklimat bahwasanya "wajar" memperlakukan kedua perairan sebagai satu ruang operasi karena keduanya adalah wilayah maritim tanpa melibatkan batas daratan, dilaporkan Reuters pada 30 Juni.
![Marinir Filipina dan tentara Korea Selatan, bersama dengan Marinir AS (kanan) dan pengamat Jepang, melakukan latihan gabungan Visit, Board, Search, Seizure (VBSS) di Ternate, Cavite, Filipina, pada 22 Oktober lalu. [Ted Aljibe/AFP]](/gc9/images/2025/07/22/51254-afp__20241022__36kl6tp__v1__highres__philippinesusskoreajapandefence-370_237.webp)
![Personel penjaga pantai Filipina mengibarkan bendera saat Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, tiba di markas besar penjaga pantai Filipina di Manila pada 30 April. [Jam Sta Rosa/AFP]](/gc9/images/2025/07/22/51245-afp__20250430__43zy4na__v1__highres__philippinesjapandiplomacy-370_237.webp)
Teodoro menyatakan konsep ini telah berjalan tanpa perlu traktat baru karena sudah disetujui oleh hierarki militer yang bersangkutan.
Dia menambahkan perubahan ini akan melibatkan transformasi luas terhadap postur pertahanan Filipina.
"Hal itu akan melibatkan sinergi dalam operasi, sinergi dalam kesadaran wilayah, dalam pertukaran data intelijen, dan dalam memperkukuh kekuatan kita untuk bekerja dua kali lebih cepat," demikian penjelasannya.
Angkatan bersenjata, di bawah Kepala Staf Jenderal Romeo Brawner Jr., kini mengadaptasi konsep ini, dengan pengawasan ke depannya akan dialihkan ke Komando Pertahanan Strategis yang baru dibentuk.
Melawan Tiongkok
Langkah ini mengisyaratkan tekad Manila untuk melawan tekanan maritim dari Tiongkok dan memperkuat koordinasi militer dengan para sekutu, termasuk Jepang, Amerika Serikat, dan Australia.
Langkah ini diambil di tengah meningkatnya ketegangan antara Manila dengan Beijing di Laut Filipina Barat.
Kapal-kapal penjaga pantai dan milisi maritim Tiongkok berulang kali mengganggu misi pasok ulang dan patroli Filipina, terutama di dekat Beting Second Thomas dan Beting Scarborough.
Sementara itu, Jepang menghadapi konfrontasi serupa dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Timur terkait dengan Kepulauan Senkaku dan batas zona ekonomi eksklusif. Pengalaman serupa ini mendorong Filipina dan Jepang untuk semakin mempererat kerja sama strategis.
Keselarasan ini tampak dalam struktur aliansi pertahanan Manila yang terus berkembang.
Selama dua tahun terakhir, Filipina muncul sebagai pusat kegiatan untuk kerja sama maritim regional dengan Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Filipina memiliki Perjanjian Kunjungan Pasukan dengan Australia, Jepang, dan Amerika Serikat, yang memungkinkan pengerahan pasukan dan latihan bersama secara cepat.
Di tingkat logistik, Manila dan Tokyo menandatangani Perjanjian Pengadaan dan Pertukaran Layanan pada bulan April, memungkinkan mereka berbagi bahan bakar, amunisi, dan pasokan selama operasi.
Meskipun Filipina sudah memiliki perjanjian untuk beragih intelijen militer dengan Washington, para pejabat dan analis meminta agar diadakan pengaturan serupa dengan Tokyo dan Canberra demi mendukung kelancaran koordinasi di bawah model satu palagan.
Untuk memperkuat sisi operasional dari jaringan aliansi yang terus berkembang ini, Pusat Koordinasi Gabungan (Combined Coordinating Center/CCC) direncanakan akan dibuka di Manila pada bulan Desember.
CCC akan berfungsi sebagai pusat komando strategis untuk negara-negara yang dikenal sebagai "Squad" -- Amerika Serikat, Jepang, Filipina, dan Australia -- guna mempermudah perencanaan, pemantauan, dan protokol ketanggapan bersama di seluruh perairan yang dipersengketakan.
Proyek ini mencerminkan semakin kuatnya kesepahaman akan perlunya kerja sama yang terstruktur dan dilembagakan di tengah meningkatnya risiko regional.
Kerja sama yang berkembang
Meskipun integrasi strategis adalah inti dari proyek ini, perangkat keras pertahanan memainkan peran pendukung. Jepang telah sepakat untuk mengalihkan enam kapal perusak kelas Abukuma kepada Filipina, sebagaimana dilaporkan Yomiuri Shimbun pada 6 Juli.
Kapal-kapal itu, yang diluncurkan pada tahun 1989 hingga 1993 untuk misi pengawalan dan antikapal selam, menandai ekspor pertama semacamnya berdasarkan kebijakan transfer perlengkapan pertahanan Tokyo.
Kapal-kapal ini, yang panjangnya 109 meter dengan bobot perpindahan masing-masing sebesar 2.550 ton dan dapat mengakomodasi sekitar 120 personel, sedang dimodifikasi untuk digunakan oleh AL Filipina karena kapal tersebut perlahan-lahan dinonaktifkan karena sistemnya yang sudah tua, menurut Yomiuri Shimbun.
Inspeksi bersama terhadap kapal-kapal ini sudah dijadwalkan untuk bulan Agustus, dengan transfer resmi diperkirakan dilakukan pada tahun 2027.
Tambahan kapal perusak ini akan memperluas potensi patroli AL Filipina secara signifikan. Meskipun sudah tua, kapal tersebut akan meningkatkan kemampuan angkatan lautnya yang saat ini hanya mengandalkan dua fregat aktif dibandingkan kapal Tiongkok yang berjumlah 100 lebih.
Pengadaan ini adalah bagian dari rencana modernisasi angkatan laut Manila yang lebih luas, yang juga mencakup pengadaan dari Korea Selatan dan Israel baru-baru ini.
Upaya keamanan terintegrasi
Sementara Filipina, Jepang, dan Amerika Serikat sudah mengisyaratkan keselarasan dengan konsep satu palagan, negara seperti Korea Selatan dan Australia lebih berhati-hati.
Fokus utama Seoul tetap diarahkan pada Korea Utara, dan di bawah Presiden Lee Jae-myung, Korea Selatan mengambil sikap yang lebih seimbang antara Washington dan Beijing.
Di Australia, beberapa pembuat kebijakan melihat potensi invasi Tiongkok terhadap Taiwan sebagai hal yang terbatas secara geografis, sehingga dapat menghambat keterlibatan Canberra dalam operasi Pasifik Barat yang lebih luas.
Meski menghadapi berbagai komplikasi, pengoperasian model satu palagan ini semakin tampak realistis di antara pendukung utamanya. Bagi Manila dan Tokyo, konsep ini menawarkan kerangka kerja untuk lebih dari sekadar mengelola krisis, tetapi juga mencegahnya.
"Secara umum, tantangan yang dihadapi oleh negara-negara ini dalam dua tahun terakhir ini saja semestinya sudah menjadi alasan kuat untuk membentuk tanggapan yang lebih terintegrasi dan konsisten terhadap sikap agresif Tiongkok di ruang maritim," tulis Don McLain Gill dari De La Salle University di Manila dalam Think China pada 16 Juli.
Dia menyatakan, "Setidaknya, kemitraan yang kokoh antara Amerika Serikat, Jepang, dan Filipina menawarkan harapan terbesar bagi pengoperasian kerangka kerja satu palagan ini untuk upaya keamanan terintegrasi."