Oleh Chen Meihua |
Mark Rutte, Sekretaris Jenderal NATO, bulan ini mengeluarkan peringatan tegas bahwa ekspansi militer Tiongkok bukan lagi sekadar demonstrasi kekuatan dan beralih ke kesiapan tempur, sementara ambisinya mengambil alih Taiwan semakin kentara.
Berbicara di Berlin pada 9 Juli setelah bertemu Kanselir Jerman Friedrich Merz, Rutte menekankan bahwa tindakan militer Tiongkok kemungkinan akan disinkronkan dengan Rusia untuk mengganggu Eropa dan membatasi kapasitas Barat untuk merespons di Indo-Pasifik, Euronews melaporkan.
Keamanan di wilayah transatlantik dan Indo-Pasifik kini kian terkait, sehingga kita tidak bisa mengabaikan masalah Taiwan tanpa mengabaikan risiko strategis Eropa sendiri, katanya.
Tiongkok memodernisasi dan mengembangkan militer dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan proyeksi 435 kapal angkatan laut dan lebih dari 1.000 hulu ledak nuklir operasional pada 2030, tambah Rutte.
![Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte menghadiri konferensi pers bersama Kanselir Jerman Friedrich Merz (tidak terlihat) di Berlin pada 9 Juli. [Odd Andersen/AFP]](/gc9/images/2025/07/23/51258-afp__20250709__66av4jv__v1__highres__germanydiplomacygovernmentdefencenatopresser-370_237.webp)
![Mantan Menteri Pertahanan Inggris Gavin Williamson berbicara di Taipei pada 4 Juli, menyebut Taiwan sebagai negara berdaulat dan demokratis tanpa “ambiguitas”, serta mendorong negara lain untuk menormalisasi hubungan demi mendukung nilai-nilai demokrasi. [Chen Meihua]](/gc9/images/2025/07/23/51259-img_2888-370_237.webp)
"Pihak anti-kebebasan dan demokrasi sedang bersiap untuk konfrontasi jangka panjang dan berupaya mendominasi serta memecah belah," kata Rutte. Jika Tiongkok menyerang Taiwan, mungkin dia akan meminta Rusia membuka front kedua di Eropa untuk mengalihkan perhatian NATO.
Dalam wawancara awal Juli dengan The New York Times, ia memperkirakan Presiden Xi Jinping akan menghubungi Presiden Vladimir Putin dan mengatakan, "Saya akan melakukan tindakan ini, tolong sibukkan mereka di Eropa dengan menyerang wilayah NATO."
Meskipun Tiongkok dan Rusia belum membentuk aliansi militer formal, keputusan Beijing untuk menyerbu Taiwan dapat memberi Moskow kesempatan untuk menyerang Eropa, kata pengamat.
Pernyataan Rutte menunjukkan bahwa NATO kian memandang "koordinasi Tiongkok-Rusia" sebagai ancaman terpadu, kata Wen-Ti Sung, peneliti Global China Hub di Atlantic Council, kepada Focus.
"Putin mungkin berupaya membantu Tiongkok membatasi gerak pasukan NATO sehingga mereka tidak dapat sepenuhnya merespons di Indo-Pasifik," kata Sung.
Jika konflik meletus di Selat Taiwan, Amerika Serikat dan anggota NATO lainnya pasti terpaksa mengalihkan sumber daya ke Indo-Pasifik, menciptakan kerentanan di Eropa yang bisa dieksploitasi Rusia, menurut Alexander Huang, lektor kepala di Graduate Institute of International Affairs and Strategic Studies Universitas Tamkang.
Namun, kepentingan strategis Tiongkok dan Rusia tidak selalu sejalan, katanya.
"Dari perspektif Barat, Tiongkok dan Rusia adalah 'sahabat sejati', padahal kepentingan mereka sering berbeda," katanya kepada Focus. Aliansi militer penuh tetap mustahil, tambahnya.
Kian Terlibat
Perhatian Eropa terhadap keamanan Taiwan semakin meningkat.
Menlu Inggris David Lammy pada 25 Juni menegaskan di parlemen bahwa AL Kerajaan Inggris akan terus melakukan operasi kebebasan navigasi baik di Laut Tiongkok Selatan maupun Selat Taiwan, menegaskan komitmen Britania Raya terhadap stabilitas regional.
Kapal patroli HMS Spey pada 18 Juni melintasi Selat Taiwan dalam patroli terbaru.
Sementara itu, pada 4 Juli, anggota parlemen Inggris Gavin Williamson, mantan menteri pertahanan, mengunjungi Taiwan dan menghadiri diskusi dengan Taiwan Foreign Correspondents' Club.
"Semua negara demokratis harus bekerja sama dengan Taiwan untuk meningkatkan penangkalan," kata Williamson.
Dia mengkritik keraguan Barat mendukung Taiwan di masa lalu karena takut memprovokasi Beijing.
"Kita harus melawan dengan segala upaya," katanya, menyerukan peningkatan penjualan senjata dan kerja sama rantai pasok dengan Taiwan, serta normalisasi hubungan Inggris dengan Taipei.
Sementara itu, Eropa sedang mengalami transformasi militer internal.
Dalam KTT NATO 25 Juni, anggotanya berkomitmen meningkatkan belanja hankam hingga 5% PDB pada 2035, sebagai respons terhadap ancaman dan tantangan keamanan yang kian serius.
Eropa semakin sadar bahwa keamanan Eurasia saling terkait—perang di Ukraina dan ketegangan di Selat Taiwan saling memperkuat—kata Wen-Ti Sung dari Atlantic Council.
Kesadaran ini mendorong Eropa untuk lebih banyak berinvestasi dalam penelitian dan keterlibatan kebijakan terkait Taiwan, katanya.
Sejak perang di Ukraina, banyak lembaga pemikir Barat mulai mengalokasikan sumber daya substansial untuk isu terkait Taiwan, tambah Sung. Pertukaran akademis dan kunjungan resmi antara Eropa dan Taiwan meningkat secara signifikan, mencerminkan pengakuan yang meningkat akan nilai strategis Taiwan dalam percaturan Eurasia yang lebih luas.
Sung memprediksi NATO akan mempererat hubungan dengan mitra Indo-Pasifik, dan memperkuat ketahanan militer anggotanya sebagai respons seruan AS untuk lebih ambil bagian.