Keamanan

Kunjungan PM Australia ke Tiongkok hadapi rintangan di tengah ketegangan keamanan

Kunjungan Perdana Menteri Australia ke Beijing dapat membawa keuntungan dagang jangka pendek, tetapi tetap dihantui kekhawatiran soal risiko strategis.

Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu PM Australia Anthony Albanese di Beijing pada 15 Juli. [Huang Jingwen/Xinhua via AFP]
Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu PM Australia Anthony Albanese di Beijing pada 15 Juli. [Huang Jingwen/Xinhua via AFP]

Oleh Wu Qiaoxi |

Beijing menggelar karpet merah untuk Perdana Menteri Anthony Albanese dalam kunjungan enam hari -- perjalanan luar negeri terpanjangnya sejak menjabat tahun 2022.

Namun, di balik jabat tangan hangat dan diplomasi panda, PM Australia mendapati dirinya meniti buih, menyeimbangkan prospek dagang baru dengan ketegangan strategis yang masih bertahan.

Albanese tiba di Shanghai pada 12 Juli bersama delegasi tokoh industri senior, menandai kunjungan keduanya ke Tiongkok sebagai perdana menteri.

Dia melakukan kunjungan simbolis di Tembok Besar serta Pusat Penelitian Chengdu untuk Penangkaran Panda Raksasa dan bertemu Fu Ni, panda yang tinggal di Australia selama 15 tahun.

PM Australia Anthony Albanese mengunjungi fasilitas penangkaran panda di Chengdu, Tiongkok, bertemu mantan indukan Fu Ni pada 17 Juli. [Australian Broadcasting Corporation/AFP]
PM Australia Anthony Albanese mengunjungi fasilitas penangkaran panda di Chengdu, Tiongkok, bertemu mantan indukan Fu Ni pada 17 Juli. [Australian Broadcasting Corporation/AFP]

Diplomasi tidaklah "hitam-putih" seperti panda, kata Albanese, yang menyebut unsur tersirat kunjungan itu vital untuk memperkuat ikatan.

Pada 15 Juli, Albanese mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan Presiden Xi Jinping di Beijing yang bertujuan menstabilkan hubungan.

Albanese menekankan pentingnya Tiongkok bagi ekonomi Australia.

"Mengingat Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Australia, sangatlah penting bagi perekonomian dan lapangan kerja Australia untuk memiliki hubungan yang positif dan konstruktif dengan Tiongkok," katanya saat konferensi pers pada 15 Juli.

Xi menyatakan bahwa hubungan Tiongkok-Australia "bangkit dari titik terendah dan mendapat momentum positif," menurut keterangan dari Kementerian Luar Negeri Tiongkok.

Masih ada masalah

"Titik terendah" itu dimulai pada tahun 2020, saat seruan Australia untuk penyelidikan independen asal-usul Covid-19 membuat marah Beijing, memicu pembatasan impor terhadap komoditas penting Australia.

Tiongkok baru mulai melunak pada tahun 2023, puncaknya pada Desember 2024 dengan mencabut larangan impor lobster berduri -- simbol meredanya perang dagang senilai miliaran dolar.

Albanese menyebut kunjungannya sebagai upaya memulihkan ekonomi dan mengumumkan perjanjian baru di bidang pariwisata, pertanian, dan energi terbarukan.

Namun, masalah keamanan tetap menjadi kendala.

Albanese mengatakan dalam konferensi pers bahwa dia menyampaikan keprihatinan soal latihan beramunisi hidup yang dilakukan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Tiongkok tanpa pemberitahuan di Laut Tasman awal tahun ini.

Dia juga mengatakan bahwa dia tidak membahas pelabuhan Darwin. Pemerintah Australia ingin mengambil kembali pelabuhan utara yang strategis itu, saat ini disewakan ke perusahaan Tiongkok, dengan alasan keamanan nasional -- tindakan yang membuat Beijing marah.

Kata Albanese, Xi tidak mengangkat soal itu, dan dia merasa tidak perlu menjelaskan posisi Canberra.

Soal Taiwan, Albanese terpaksa mengklarifikasi sikap Australia setelah media pemerintah Tiongkok mengklaim dia menentang "kemerdekaan Taiwan."

Saat ditanya soal pernyataan itu, Albanese mengatakan pada 16 Juli dia belum membaca artikelnya dan menegaskan: "Kami mendukung kebijakan Satu Tiongkok. Kami mendukung status quo."

Australia tidak mendukung perubahan sepihak atas status quo Selat Taiwan dan sikap itu tidak berubah, katanya.

Meniti buih

Media pemerintah Tiongkok menyambut positif kunjungan itu. Global Times menyebut hubungan kedua negara berhasil terbang menembus "badai" tiga tahun lalu menuju “stratosfer” yang tenang, menyiratkan masa paling bergejolak antara kedua negara telah berlalu.

Namun, tanggapan di Australia sebaliknya.

Pemimpin Senat oposisi Michaelia Cash mengatakan kepada Sky News kunjungan itu "melempem" dan "mengambang", mengkritik Albanese telah gagal menyampaikan pesan tegas soal keamanan dan kedaulatan.

"PM Albanese perlu tegas soal keputusan itu, dan dalam hubungan [antarnegara] yang saling menghormati, keputusan itu harus dihormati," katanya, merujuk masalah pelabuhan Darwin.

Keprihatinan Albanese tampaknya "tidak diacuhkan", kata Cash.

Greg Sheridan, redaktur luar negeri The Australian, menyebut kunjungan itu "sangat bodoh" karena bertepatan dengan Talisman Sabre tahun ini -- latihan militer terbesar oleh koalisi 19 negara yang dipimpin Australia dan Amerika Serikat.

Berbicara kepada Sky News, Sheridan mengkritik Albanese karena tidak mengunjungi mitra regional utama seperti Jepang dan Korea Selatan, dan gagal membawa hasil konkret.

"Kunjungan pelesir Albanese adalah propaganda emas bagi Beijing, tetapi tidak ada gunanya bagi kita," tulisnya di The Australian.

Dilema strategis Australia terbaca dalam analisis Worldview RANE akhir Juli, menyebutkan bahwa kendati lawatan itu dapat membawa manfaat dagang jangka pendek, "meningkatnya risiko keamanan regional akan memaksa Canberra memperkeras sikapnya, membatasi lingkup kerja sama ekonomi jangka panjang dengan Beijing."

"Hal yang tidak diperhitungkan PM Albanese adalah kerentanan dan risiko yang sangat besar jika memperdalam ketergantungan dagang Australia," kata Michael Shoebridge, pendiri Australian Strategic Policy Institute, kepada The New York Times.

"Ternyata rasa takut selalu kalah oleh keserakahan."

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *