Kriminalitas & Keadilan

Pakistan bongkar skema penipuan siber yang dikendalikan Tiongkok

Pihak berwenang Pakistan menangkap puluhan warga negara Tiongkok dalam operasi besar terkait kejahatan siber.

Foto arsip tanpa tanggal ini menunjukkan staf di Pusat Respons Nasional untuk Kejahatan Siber Pakistan, yang berada di bawah naungan Badan Investigasi Federal (FIA). [Pakistani FIA]
Foto arsip tanpa tanggal ini menunjukkan staf di Pusat Respons Nasional untuk Kejahatan Siber Pakistan, yang berada di bawah naungan Badan Investigasi Federal (FIA). [Pakistani FIA]

Oleh Zarak Khan |

Pada bulan lalu, pihak berwenang Pakistan membongkar sindikat kejahatan siber lintas negara yang sangat terorganisir dan dijalankan oleh warga negara Tiongkok. Para pejabat menyebutnya sebagai salah satu operasi penindakan terbesar terhadap skema penipuan digital yang melibatkan pihak asing dalam beberapa tahun terakhir.

Operasi pada awal Juli yang dipimpin oleh Badan Investigasi Kejahatan Siber Nasional (NCCIA) yang baru dibentuk, berujung pada penangkapan 149 orang, termasuk 71 warga negara asing—mayoritas berasal dari Tiongkok—dalam penggerebekan besar terhadap pusat panggilan ilegal di Faisalabad.

“Dalam penggerebekan tersebut, ditemukan sebuah pusat panggilan berskala besar yang terlibat dalam skema Ponzi dan penipuan investasi online,” ujar NCCIA dalam pernyataannya.

“Melalui jaringan penipuan ini, masyarakat telah dibohongi dan uang dalam jumlah besar dikumpulkan secara ilegal.”

Polisi mengangkut komputer dan perangkat elektronik yang disita setelah menggerebek pusat penipuan (scam call center) yang beroperasi di sebuah pabrik di Faisalabad pada malam 7 Juli. [Badan Investigasi Kejahatan Siber Nasional Pakistan]
Polisi mengangkut komputer dan perangkat elektronik yang disita setelah menggerebek pusat penipuan (scam call center) yang beroperasi di sebuah pabrik di Faisalabad pada malam 7 Juli. [Badan Investigasi Kejahatan Siber Nasional Pakistan]

Para pelaku yang ditangkap berasal dari berbagai negara, termasuk Tiongkok, Nigeria, Filipina, Sri Lanka, Bangladesh, Zimbabwe, dan Myanmar.

Mayoritas adalah warga negara Pakistan yang berperan sebagai operator lapangan atau fasilitator lokal.

Penipuan lintas negara

Jaringan kriminal ini menargetkan ribuan korban di Pakistan dan di beberapa negara Asia Selatan dan Asia Timur lainnya, kata para pejabat.

Mereka menipu para korbannya terutama melalui platform online seperti WhatsApp, Telegram, dan berbagai aplikasi seluler, dengan berpura-pura menawarkan peluang investasi yang terlihat sah.

Laporan polisi yang diserahkan ke pengadilan lokal dan ditinjau oleh Focus mengungkap bahwa para tersangka mengelola sejumlah grup WhatsApp, di mana mereka memberikan “tugas investasi” yang tampaknya tidak berbahaya—seperti berlangganan saluran YouTube atau TikTok.

Setelah berhasil memperoleh kepercayaan korban, para pelaku kemudian mengarahkan mereka ke Telegram untuk “tugas digital” yang lebih rumit. Tugas-tugas ini seringkali membutuhkan transfer dana yang lebih besar dan melibatkan risiko tinggi.

Pada akhir Juli, pengadilan di Faisalabad menyetujui penahanan selama 14 hari terhadap seluruh tersangka guna memberi waktu kepada pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.

Analisis forensik terhadap perangkat elektronik yang disita masih berlangsung dan diperkirakan akan mengungkap hubungan internasional lainnya, menurut keterangan para pejabat.

“Temuan awal menunjukkan adanya jaringan penipuan terkoordinasi yang dipimpin oleh sejumlah warga negara Tiongkok yang masuk ke Pakistan dengan visa bisnis,” ujar seorang pejabat NCCIA di Faisalabad kepada Focus, yang tidak mau disebutkan namanya karena sensitivitas masalah yang melibatkan hubungan Tiongkok-Pakistan.

“Mereka menjadikan Pakistan sebagai markas untuk menjalankan penipuan lintas negara, dengan mengeksploitasi lemahnya pengawasan digital dan minimnya koordinasi antara aparat penegak hukum dan otoritas keuangan,” lanjutnya.

Masih menurut pejabat tersebut, para pelaku awalnya memikat korban dengan janji imbal hasil tinggi dari investasi kecil. Setelah korban mulai percaya, mereka kemudian dimanipulasi untuk menyetor dana dalam jumlah besar, biasanya melalui dompet kripto atau rekening palsu.

Meskipun skala keuangan pasti dari penipuan ini masih dalam penyelidikan, pihak berwenang memperkirakan para tersangka telah menggelapkan dana hingga puluhan juta rupee melalui transaksi keuangan palsu dan perusahaan cangkang, demikian kata pejabat tersebut.

Pola kejahatan yang lebih luas

Penggerebekan terbaru ini menambah pola aktivitas kriminal yang semakin mengkhawatirkan yang melibatkan warga negara Tiongkok yang beroperasi di Pakistan.

Sejak tahun 2018, pihak berwenang Pakistan telah mengungkap beberapa perusahaan kriminal yang dipimpin warga negara Tiongkok yang terlibat dalam perdagangan manusia, kejahatan siber, dan penipuan berskala besar.

Di Punjab, provinsi terpadat di negara itu, pihak berwenang tiga tahun lalu menemukan peran jaringan yang dikelola oleh warga negara Tiongkok dalam penipuan “pernikahan palsu” yang terkenal kejam, di mana para penipu menipu perempuan Kristen miskin dengan janji-janji palsu tentang pernikahan dan migrasi ke Tiongkok. Sesampainya di Tiongkok, mereka dipaksa menjadi PSK atau pembantu rumah tangga.

Dalam operasi sebelumnya, polisi Pakistan menemukan sejumlah warga negara Tiongkok terlibat dalam kejahatan skimming mesin ATM dan penipuan lowongan kerja, yang dalam beberapa kasus menyalahgunakan nama serta logo Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC), proyek unggulan dalam Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas oleh Beijing.

BRI adalah proyek global dari Tiongkok yang bertujuan memfasilitasi ekspor bahan mentah dari negara berkembang ke Tiongkok.

Pada tahun 2022, pengadilan di Karachi mengabulkan permintaan dari Biro Akuntabilitas Nasional (NAB), lembaga antikorupsi Pakistan, untuk membekukan sembilan rekening bank yang terkait dengan dua perusahaan dan empat individu dari Tiongkok. Mereka dituduh menipu masyarakat dengan skema investasi palsu yang menyebabkan kerugian lebih dari 1,1 miliar rupee Pakistan (setara US$3.877 pada nilai tukar saat ini).

Implikasi kebijakan

Para analis yang khusus mengkaji kejahatan terorganisir menggambarkan penindakan terbaru ini sebagai bagian dari tren yang lebih luas, di mana kelompok kejahatan siber asal Tiongkok mengeksploitasi negara-negara dengan sistem hukum dan pengawasan regulasi yang lemah.

“Jaringan Tiongkok ini mengeksploitasi kerentanan sosio-ekonomi dan celah hukum,” ujar Murtaza Hussain, seorang analis di firma manajemen risiko yang berbasis di Karachi, kepada Focus.

“Saat ini sangat dibutuhkan pengawasan visa yang lebih ketat terhadap warga negara asing, khususnya dari Tiongkok dan negara lain yang memiliki rekam jejak dalam kejahatan terorganisir, disertai kerja sama penegakan hukum di tingkat regional dan kampanye edukasi publik yang kuat untuk menghadapi penipuan digital,” tambahnya.

Meskipun pihak berwenang Pakistan belum secara terbuka mengaitkan aktivitas sindikat di Faisalabad dengan pemerintah Tiongkok, para pakar keamanan siber memperingatkan taktik yang digunakan memiliki kemiripan dengan pola yang biasa diterapkan oleh kelompok Advanced Persistent Threat (APT), yaitu unit siber terorganisir yang sering dikaitkan dengan kepentingan negara Tiongkok.

“Bahkan jika para individu Tiongkok ini bertindak secara independen, platform dan alat rekayasa sosial yang mereka gunakan mencerminkan teknik-teknik yang umum dipakai oleh kelompok APT Tiongkok,” ujar Muhammad Rehan, analis keamanan siber yang berbasis di Islamabad, kepada Focus.

“Pakistan harus secara serius menilai apakah mereka hanya berurusan dengan penjahat siber yang bermotif keuangan atau apakah operasi semacam ini merupakan bagian dari strategi yang lebih besar yang mencakup upaya pengaruh asing dan aktivitas pengintaian,” kata Rehan.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *