Oleh Zarak Khan |
Beijing menggunakan perjalanan berbayar dan upaya bujukan lain untuk membungkam para ulama asing ketika kaum Muslim Xinjiang menanggung penindasan di bawahnya.
Beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah Tiongkok meningkatkan upaya untuk mengundang delegasi ulama dari negara-negara berpenduduk Muslim mayoritas dari Asia Selatan dan Tenggara serta Timur Tengah, dengan menyelenggarakan kunjungan yang disponsori negara ke daerah Xinjiang.
Wisata yang dikelola dengan cermat ini, bagian dari yang disebut sebagai "diplomasi Islam" oleh para analis, tampak dirancang untuk menutupi penindasan sistemik atas penduduk Muslim Uighur. Wisata tersebut menampilkan narasi harmoni dan stabilitas.
Sejumlah badan internasional, termasuk Departemen Luar Negeri AS dan parlemen Prancis dan Kanada, mengecam kebijakan Tiongkok di Xinjiang sebagai genosida.
![Seorang Muslimah tampak sedang memprotes genosida di daerah Xinjiang, Tiongkok, di depan badan legislatif provinsi Alberta di Kanada pada 8 Februari. [Artur Widak/NurPhoto via AFP]](/gc9/images/2025/09/05/51845-afp__20250209__widak-edmonton250208_npsmw__v1__highres__edmontonforeastturkistanprot-370_237.webp)
![Sekelompok ulama dari 14 negara tampak mengunjungi Xinjiang pada tahun 2023. Perjalanan ini bagian dari program yang disponsori Kementerian Luar Negeri Tiongkok. [Kedutaan Besar Tiongkok di Swiss/X]](/gc9/images/2025/09/05/51826-photo_2-370_237.webp)
Kekerasan yang dilakukan mencakup pemenjaraan massal, sterilisasi wanita secara paksa, pemberangusan praktik-praktik Islam, dan dorongan migrasi etnis Tionghoa untuk mengurangi persentase Muslim.
Wisata bagi ulama
Pada bulan Juli, Kedutaan Besar Tiongkok di Islamabad mengatur kunjungan delegasi Pakistan, sebagian besarnya ulama, ke Urumqi, Altay, Kashgar, dan kota-kota berpenduduk Muslim yang lain. Mereka mendatangi institusi-insititusi Islam, pusat budaya, dan pameran yang menampilkan kebijakan Beijing atas "kontraterorisme dan anti-ekstremisme."
Pada April 2024, delegasi dari Persatuan Tionghoa Muslim Malaysia mengunjungi tempat-tempat serupa di Xinjiang, dilaporkan oleh Shiliuyun-Xinjiang Daily, media pemerintah, saat itu.
Pada tahun 2023, pemerintah daerah Xinjiang menjamu kelompok ulama internasional yang lebih besar dari 14 negara, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Bosnia dan Herzegovina, Serbia, dan Tunisia, menurut Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Anggota Politbiro Tiongkok, Ma Xingrui, yang saat itu juga sekretaris Partai Xinjiang, menggambarkan kunjungan tersebut sebagai peluang bagi tokoh agama asing untuk mendapatkan "pemahaman lebih dalam tentang Xinjiang yang sebenarnya."
Beberapa penyesalan dari peserta
Namun, sejumlah peserta memberi pencerminan yang lebih hati-hati.
Kedutaan-kedutaan besar Tiongkok "rutin mengundang ulama dari negara bermayoritas Muslim, seperti Pakistan, Afganistan, Indonesia, dan Malaysia, untuk mengunjungi Xinjiang guna melawan persepsi dunia tentang perlakuan Beijing terhadap komunitas Muslim Uighur," kata seorang ulama Pakistan yang mengikuti program itu.
Dia meminta namanya tidak disebutkan karena kepekaan persoalan tersebut serta sifat hubungan Tiongkok-Pakistan.
"Masalah terbesar kunjungan ini yaitu sepenuhnya dikendalikan pemerintah. Kami hanya bertemu dengan ulama dan pemimpin komunitas yang terkait dengan pihak berwenang," ujar peserta kepada Focus.
"Kami tidak dibolehkan bergerak bebas atau bertemu orang secara mandiri," tambahnya, menggambarkan perjalanan itu sebagai propaganda pemerintah.
Di luar wisata resmi, Beijing menggunakan insentif keuangan dan penjangkauan kelembagaan untuk membentuk pendapat negara-negara bermayoritas Muslim tentang Xinjiang.
Pada tahun 2019, Wall Street Journal mengungkap sejumlah organisasi Muslim Indonesia menerima sumbangan, dukungan keuangan, dan jenis bantuan lain dari Beijing.
Pihak-pihak tersebut kemudian berhenti mengkritik perlakuan Tiongkok terhadap Muslim Uighur.
Kekerasan terus berjalan
Namun, para pengamat masih mendokumentasikan kekerasan di Xinjiang.
Departemen Luar Negeri AS, dalam laporan tahun 2024 tentang hak asasi manusia di Tiongkok, mencatat "laporan yang dapat dipercaya" tentang penindasan berlanjut di Xinjiang seperti "pembunuhan sewenang-wenang atau melanggar hukum", penyiksaan, prosedur medis yang dipaksakan, dan penahanan "sejak tahun 2017, dari lebih dari satu juta warga Uighur dan anggota kelompok minoritas Muslim lainnya."
Human Rights Watch (HRW) dalam laporan bulan Februari menyorot pembatasan Beijing yang masih berlangsung terhadap kebebasan bergerak warga Uighur, terutama mereka yang ingin pergi ke luar negeri, menyebutnya pelanggaran atas hak meninggalkan negara yang dilindungi secara internasional.
"Pemerintah mengizinkan orang Uighur dalam diaspora untuk melakukan kunjungan terbatas ke Xinjiang, tetapi dengan tujuan yang jelas untuk menyajikan citra publik kenormalan di daerah itu," dinyatakan HRW.
Menguatkan kecemasan ini, Human Rights Institute dari International Bar Association memimpin panel diskusi di Dewan Bangsawan Inggris pada bulan Januari tentang "genosida terlupakan" di Xinjiang.
Di Xinjiang, pihak berwenang Tiongkok melakukan "pengintaian massal, pembatasan pergerakan, penangkapan sewenang-wenang, dan penghilangan paksa yang semuanya diatasnamakan melawan 'terorisme' dan 'separatis ekstremis,'" kata Sayragul Sauytbay, aktivis Uighur dalam pengasingan, dalam diskusi.
![Sekelompok ulama Pakistan berwisata ke Xinjiang pada bulan Juli dalam kunjungan yang disponsori Pemerintah Tiongkok. [Foto pribadi peserta kunjungan]](/gc9/images/2025/09/05/51787-photo_1-370_237.webp)