Oleh AFP dan Focus |
SYDNEY -- Australia harus belajar dari gerilya masa lalu dan mengadopsi kebijakan "penangkalan non-konvensional" dalam menghadapi ancaman dari Tiongkok, Rusia, dan lainnya, kata salah satu lembaga pemikir terkemuka Australia dalam laporan yang dirilis 15 Oktober.
Jumlah penduduk Australia hanya 27 juta jiwa, sementara Tiongkok berpenduduk 1 miliar jiwa dan Rusia 140 juta jiwa.
Australian Strategic Policy Institute (ASPI) mengeluarkan laporan pada 15 Oktober, karena Australia masih harus menunggu lama untuk kapal selam yang dipesannya.
Berdasarkan pakta tiga pihak AUKUS dengan Amerika Serikat dan Inggris, Australia akan memperoleh sedikitnya tiga kapal selam kelas Virginia dari AS dalam waktu 15 tahun, serta berencana membangun kapal selam sendiri.
Sampai itu terjadi, Canberra memiliki kelemahan besar di pertahanannya, demikian peringatan ASPI yang nonpartisan, yang menerima pendanaan dari Kemenhan Canberra serta Deplu AS.
"Australia tidak bisa lagi mengandalkan 'sekutu yang hebat dan kuat' serta daya tangkal nuklir yang diperluas," tulis laporan itu.
"Australia sebenarnya dapat menutupi kelemahan daya tangkal saat ini: asal mau melihat yang di luar paradigma konvensional," menurut para penulisnya.
Terlalu kecil untuk konfrontasi langsung
ASPI, mengingat "inferioritas" (populasi) Australia dibanding raksasa seperti Tiongkok, mengatakan bahwa gerilya masa lalu seperti perang Chechnya melawan Rusia pada era 1990-an menunjukkan kemampuan pemain kecil membuat kerusakan besar terhadap lawan yang jauh lebih besar.
"Sejarah menunjukkan bahwa konsep inovatif dan kemampuan asimetris tetap dapat memberi efek jera sebelum dan selama konflik," tutur penulis.
"Konsep daya tangkal Australia tidak memperhitungkan sifat persaingan yang saat ini dipraktikkan Tiongkok dan rezim autokrat lainnya seperti Rusia, Korea Utara, dan Iran," mereka memperingatkan.
ASPI menyoroti taktik "zona abu-abu" Tiongkok yang semakin sering digunakan -- perang siber, pemaksaan, dan subversi yang belum tergolong aksi perang -- sebagai bukti bahwa Australia membutuhkan kebijakan yang lebih dinamis dan reaktif.
Jadilah landak atau udang beracun
Canberra dapat belajar dari mantan pemimpin Singapura, Lee Kuan Yew, yang menggambarkan negara kotanya sebagai "udang beracun", serta strategi "landak" dari Swiss dan negara-negara Baltik, kata ASPI.
ASPI menyerukan pembentukan kembali Penasihat Keamanan Nasional dengan kewenangan dan pengawasan luas atas lembaga-lembaga intelijen Canberra, serta reformasi hukum spionase dan pertahanan demi memudahkan kebijakan baru.
Untuk mengatasi hal itu, Australia harus belajar dari sejarah dan mendukung upaya pertahanan regional. Langkah itu mengharuskan perubahan kebijakan regional Australia, sebagaimana disebut laporan ASPI: "Premis strategis daya tangkal non-konvensional adalah membangun keamanan bersama Asia ... alih-alih keamanan terhadap Asia ... atau di Asia."
Australia melakukan pembangunan militer cepat dalam upaya memperkuat pertahanannya terhadap Tiongkok, yang juga mitra dagang terbesarnya.
Canberra berencana meningkatkan anggaran pertahanannya secara bertahap hingga 2,4% PDB, jauh di bawah tuntutan AS sebesar 3,5%.
Program kapal selam AUKUS sendiri dapat membebani negara hingga 368 miliar AUD ($239 miliar) selama lebih dari 30 tahun mendatang, menurut perkiraan pemerintah Australia.
![Foto sampul laporan khusus Australian Strategic Policy Institute (ASPI), edisi 15 Oktober, yang berisi rekomendasi strategi pertahanan Australia, termasuk perlunya “penangkalan non-konvensional” dalam menghadapi ancaman global yang meningkat. [ASPI]](/gc9/images/2025/10/16/52448-report_cover-370_237.webp)