Ekonomi

PM Jepang Takaichi berkomitmen perkuat hubungan dengan AS dan tambah belanja pertahanan

Takaichi berencana meningkatkan belanja pertahanan Jepang hingga 2% dari PDB, dua tahun lebih cepat dari rencana awal. Ia juga berjanji membawa hubungan Jepang-AS “ke level baru” dan mengungkapkan kekhawatiran terkait keamanan menghadapi Tiongkok.

Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi berbicara di DPR Tokyo, 24 Oktober, mengumumkan rencana mempercepat target belanja pertahanan dua tahun lebih awal. [Kazuhiro Nogi/AFP]
Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi berbicara di DPR Tokyo, 24 Oktober, mengumumkan rencana mempercepat target belanja pertahanan dua tahun lebih awal. [Kazuhiro Nogi/AFP]

Oleh AFP dan Focus |

TOKYO -- Perdana Menteri baru Jepang yang konservatif, Sanae Takaichi, berjanji akan membawa hubungan dengan AS “ke tingkat yang lebih tinggi,” seraya menyampaikan kritik terhadap Tiongkok dan berkomitmen menempuh kebijakan yang lebih tegas terkait imigrasi dalam pidato kebijakan pertamanya.

PM wanita pertama Jepang, yang saat ini cukup populer di kalangan publik, mengatakan di hadapan parlemen yang riuh pada 24 Oktober bahwa Jepang akan mengalokasikan 2% dari PDB untuk pertahanan tahun ini, lebih cepat dua tahun dari target pemerintah.

Pernyataan tersebut disampaikan tiga hari sebelum kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Jepang, dalam perjalanan menuju pembicaraan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Korea Selatan. Washington mendorong Tokyo dan sekutu lainnya untuk meningkatkan belanja militer mereka.

Takaichi, yang mengidolakan Margaret Thatcher, berjanji membangun “hubungan penuh kepercayaan” dan membawa “hubungan Jepang-AS ke level baru.”

Perdana Menteri baru Jepang Sanae Takaichi (tengah, baris depan) berfoto bersama kabinetnya di kantornya di Tokyo, 21 Oktober. [Philip Fong/Pool/AFP]
Perdana Menteri baru Jepang Sanae Takaichi (tengah, baris depan) berfoto bersama kabinetnya di kantornya di Tokyo, 21 Oktober. [Philip Fong/Pool/AFP]

Terkait hubungan dengan Tiongkok, Takaichi menyatakan, “Tiongkok adalah negara tetangga yang penting bagi Jepang, dan perlu membangun hubungan yang konstruktif dan stabil.”

Ia mengakui bahwa "terdapat isu keamanan, termasuk keamanan ekonomi, antara Jepang dan Tiongkok. Kami akan terus melanjutkan dialog yang jujur di tingkat pimpinan,” lapor Chosun Daily.

Takaichi, yang sebelum penunjukkannya dikenal keras terhadap Tiongkok, mengatakan aktivitas militer Tiongkok, Korea Utara, dan Rusia “kini kian menjadi perhatian serius.”

“Tatanan internasional yang bebas, terbuka, dan stabil, yang selama ini kita kenal, tengah terguncang akibat pergeseran keseimbangan kekuatan dan persaingan geopolitik yang semakin tajam,” kata Takaichi.

Kementerian Luar Negeri Tiongkok menanggapi dengan mengecam peningkatan belanja pertahanan Jepang serta pelonggaran pembatasan ekspor senjata.

“Langkah-langkah ini tak bisa dihindari lagi menimbulkan keraguan serius di kalangan negara-negara tetangga Jepang di Asia maupun komunitas internasional mengenai apakah Jepang benar-benar berkomitmen pada postur pertahanan semata dan jalur pembangunan damai,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Guo Jiakun.

Isu imigran di tengah tekanan ekonomi

Takaichi menghadapi sejumlah isu kompleks lainnya dalam beberapa bulan mendatang, termasuk ekonomi yang stagnan dan penurunan jumlah penduduk.

Jepang tengah mengalami gelombang baru imigrasi dari Tiongkok. Menurut Asian Media Center, jumlah warga Tiongkok di Jepang mencapai 870.000 orang pada tahun 2024 dan diprediksi akan tembus 1 juta pada tahun 2026.

Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran mengenai keamanan nasional dan ekonomi Jepang.

Takaichi mengatakan Jepang memerlukan pekerja asing untuk menutupi kekurangan tenaga kerja, tetapi ia juga menyinggung meningkatnya kekhawatiran terhadap kehadiran orang asing di negara yang selama ini memiliki tingkat imigrasi rendah.

Takaichi mengatakan pada 24 Oktober, “Beberapa tindakan ilegal dan pelanggaran aturan oleh sebagian orang asing telah menciptakan situasi di mana masyarakat merasa cemas dan menimbulkan kesan ketidakadilan.”

Takaichi menegaskan, “Kami jelas membedakan diri dari xenofobia, tetapi pemerintah akan bertindak tegas terhadap tindakan semacam itu.” Ia menambahkan bahwa pihak berwenang akan menegakkan aturan yang berlaku dan meninjau isu-isu sensitif seperti pembelian lahan.

Partai populis Sanseito, yang menuding imigrasi sebagai “invasi diam-diam,” terus mencatatkan kemenangan dalam sejumlah pemilu belakangan ini.

Takaichi menunjuk Kimi Onoda untuk memegang dua jabatan: Menteri Keamanan Ekonomi dan Menteri yang bertugas membangun “masyarakat yang tertib dan hidup harmonis bersama warga asing.”

Jabatan terakhir sebelumnya sudah ada, tetapi belum ada menteri yang mengisinya. Penunjukan Onoda memicu gelombang disinformasi online, termasuk klaim palsu bahwa Takaichi menunjuknya sebagai menteri untuk melakukan “deportasi massal.”

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *