Oleh Focus |
Tiongkok terus mendorong negosiasi mengenai Pedoman Perilaku (Code of Conduct, COC) Laut Tiongkok Selatan dengan negara-negara tetangga, sementara pada saat yang sama menegaskan klaim teritorialnya secara agresif yang bertentangan dengan hukum internasional.
Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, mengumumkan di sela-sela Kongres Rakyat Nasional yang sedang berlangsung pada 7 Maret bahwa kongres telah menyelesaikan pembacaan ketiga dari teks COC.
COC menghadapi tantangan akibat perbedaan kepentingan.
Tiongkok, yang mengklaim hampir 90% wilayah Laut Tiongkok Selatan, ingin COC hanya mencakup area yang dikendalikannya, sehingga menciptakan kerangka kerja yang mendukung klaim sengketanya. Selain itu, Tiongkok mengupayakan kerangka kerja yang tidak mengikat dan mengecualikan kekuatan eksternal, seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, dalam urusan keamanan regional.
![Foto ini, diambil pada 14 Oktober, menunjukkan helikopter lepas landas dari fregat rudal berpandu Filipina, BRP Jose Rizal, di Laut Tiongkok Selatan. Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, dan Jepang telah meningkatkan pengerahan AL di wilayah tersebut selama setahun terakhir. [Angkatan Bersenjata Filipina]](/gc9/images/2025/03/12/49465-us-ph-exercise-370_237.webp)
Sebaliknya, Filipina dan Vietnam mendorong pencakupan lebih banyak wilayah yang dipersengketakan.
"Tiongkok jelas mendapat keuntungan dari status quo karena memperkuat dan memperluas kehadiran militernya di kawasan itu. Namun, ASEAN [Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara] tidak bisa tinggal diam sementara perairan yang dipersengketakan terus berubah secara mengkhawatirkan," tulis Jaime Naval, ilmuwan politik di University of the Philippines Diliman.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di East Asia Forum bulan November, Jaime Naval menyoroti upaya strategis Tiongkok untuk memengaruhi COC dengan ketentuan yang menguntungkan Beijing, berpotensi merugikan negara-negara penggugat ASEAN.
Ketegangan meningkat
Beijing mengklaim sebagian besar wilayah Laut Tiongkok Selatan, meskipun ada putusan internasional yang menyatakan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum. Penjaga pantai Tiongkok berulang kali bentrok dengan penjaga pantai Filipina, memicu kekhawatiran akan konflik bersenjata.
Filipina menuduh Tiongkok melakukan tindakan maritim yang agresif, termasuk penggunaan meriam air, manuver berbahaya terhadap kapal Filipina, serta upaya memblokir misi pengiriman logistik Filipina ke sejumlah pos militernya di perairan yang dipersengketakan.
Menteri Pertahanan Filipina, Gilberto Teodoro, dalam wawancara pada 5 Maret menyatakan bahwa meningkatnya agresi Tiongkok di perairan sengketa kini dianggap sebagai ancaman terbesar bagi keamanan nasional Filipina.
"Ancaman eksternal terbesar sebenarnya adalah agresi Tiongkok, ekspansionisme Tiongkok, dan upaya Tiongkok untuk mengubah hukum internasional melalui penggunaan kekuatan atau pembiaran... atau usahanya untuk membentuk kembali tatanan dunia menjadi sesuatu yang dapat dikendalikannya," ujarnya.
Wang menggambarkan konfrontasi maritim antara Beijing dan Manila sebagai "pertunjukan bayangan" yang direkayasa oleh Filipina untuk mencoreng citra Tiongkok, menyatakan bahwa kekuatan eksternal dan media Barat telah memperbesar perselisihan ini.
Ia menegaskan kembali sikap Beijing dalam mempertahankan kedaulatan teritorial dan hak maritimnya, termasuk atas Beting Second Thomas dan Beting Scarborough yang dipersengketakan. Wang memperingatkan bahwa "pelanggaran dan provokasi akan berbalik merugikan" dan bahwa "mereka yang bertindak sebagai bidak catur pihak lain pada akhirnya akan dibuang."
Wang juga mengkritik Amerika Serikat, mengecam strategi Indo-Pasifik pihak Washington dan menuduhnya "memicu masalah dan menciptakan perselisihan" di kawasan.
Melawan Tiongkok
Saat Beijing menegaskan klaimnya, para aktor regional semakin berupaya memperkuat posisi mereka dan mempererat hubungan dengan sekutu Barat.
Setahun terakhir ini terdapat peningkatan yang signifikan dalam pengerahan AL Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang di Laut Tiongkok Selatan.
Para diplomat Eropa menyoroti meningkatnya kehadiran negara Barat, dengan menekankan bahwa mereka bertujuan menegakkan tatanan berbasis aturan alih-alih ikut terlibat dalam konfrontasi langsung, menurut laporan Nikkei Asia bulan Maret.
"Pada tahun 2024, ada lebih banyak orang Eropa di sini... lebih banyak fregat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Itu fakta," kata diplomat senior Barat kepada media tersebut, menekankan bahwa kehadiran mereka menggarisbawahi "kebebasan navigasi, penghormatan atas hukum internasional, dan penghormatan atas kedaulatan."
Tindakan maritim Tiongkok yang agresif, ditambah dengan meningkatnya pengerahan AL Barat, menandakan lanskap keamanan di Laut Tiongkok Selatan yang semakin kompleks dan menegangkan.
Seiring berjalannya pembahasan mengenai COC, bangsa-bangsa ASEAN menghadapi tantangan menyeimbangkan diplomasi dengan Tiongkok sekaligus memperkuat kerja sama pertahanan dengan mitra eksternal.