Keamanan

Taiwan hadapi pertempuran eksistensial melawan mata-mata Tiongkok

Penyusupan Beijing ke golongan militer, politikus, dan pemengaruh Taiwan mengancam keamanan nasional dan meningkatkan ketakutan akan konflik, demikian peringatan dari analis.

Pengawal kehormatan Taiwan tampil di suatu acara di Taipei pada 7 November 2020. Jumlah warga negara Taiwan yang didakwa atas tuduhan spionase untuk Tiongkok meningkat, dengan lebih dari 67% dakwaan melibatkan personel militer tahun lalu. [Ceng Shou/NurPhoto via AFP]
Pengawal kehormatan Taiwan tampil di suatu acara di Taipei pada 7 November 2020. Jumlah warga negara Taiwan yang didakwa atas tuduhan spionase untuk Tiongkok meningkat, dengan lebih dari 67% dakwaan melibatkan personel militer tahun lalu. [Ceng Shou/NurPhoto via AFP]

Oleh Focus dan AFP |

Para pengamat memperingatkan bahwa Taiwan menghadapi ancaman eksistensial yang berkembang dari warga negaranya sendiri yang memata-matai untuk Tiongkok. Pemerintah Taiwan berusaha memperketat langkah-langkah untuk menghentikan upaya penyusupan Beijing dan mencegah pengkhianat.

Meskipun Beijing dan Taipei sudah bertahun-tahun ini saling memata-matai, spionase menimbulkan ancaman yang lebih besar bagi Taiwan karena adanya risiko serangan Tiongkok, kata analis intelijen kepada AFP.

Badan intelijen Taiwan pernah mengatakan bahwa Tiongkok menggunakan "beragam saluran dan taktik" guna menyusup militer, lembaga pemerintah, dan organisasi pro-Tiongkok di negara pulau itu.

Sasaran utamanya adalah personel militer yang masih aktif dan sudah pensiun, dibujuk dengan uang, pemerasan, atau ideologi pro-Tiongkok untuk mencuri rahasia pertahanan, bersumpah untuk menyerah kepada militer Tiongkok dan mendirikan kelompok bersenjata guna membantu pasukan penyerang.

Tiongkok mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan sudah lama mengancam akan merebutnya dengan kekerasan -- yang ditentang oleh pemerintah Taipei.

Meskipun operasi spionase dilakukan oleh pemerintah di seluruh dunia, Peter Mattis, Presiden Jamestown Foundation, mengatakan ancaman terhadap Taiwan jauh lebih besar.

"Spionase ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala sebesar ini, dengan tujuan jahat yang meliputi aneksasi sebagai tujuan akhirnya, dan konsekuensinya, ini membuatnya sangat menonjol," kata Mattis, seorang mantan analis kontraintelijen CIA.

"Ini sesuatu yang lebih mendasar... bagi kelangsungan kedaulatan bangsa atau negara."

Data resmi menunjukkan jumlah terdakwa yang dituntut di Taiwan atas tuduhan spionase untuk Beijing meningkat tajam dalam beberapa tahun ini.

Biro Keamanan Nasional Taiwan mengatakan 64 terdakwa dituntut atas tuduhan spionase untuk Tiongkok tahun lalu, dibandingkan dengan 48 pada tahun 2023 dan 10 pada 2022.

Terdakwa tahun 2024 mencakup 15 veteran dan 28 anggota dinas aktif, dengan hukuman penjara mencapai 20 tahun lamanya.

Kementerian Pertahanan Nasional pada 10 Maret mengumumkan rencana untuk RUU yang akan menjatuhkan hukuman penjara satu sampai tujuh tahun bagi personel tugas aktif yang berjanji setia kepada musuh dan merugikan kepentingan militer.

"Tingkat penuntutan terhadap personel militer relatif tinggi untuk pelanggaran umum UU Keamanan Nasional," ucap Jaksa Agung Hsing Tai-chao.

"Hal ini disebabkan militer memiliki standar yang lebih ketat karena tugasnya untuk menjaga keamanan nasional dan aksesnya ke senjata," kata Hsing kepada AFP.

"Bukan berarti orang awam tidak melakukan kegiatan serupa. Perbedaannya adalah tindakan semacamnya tidak selalu merupakan tindak pidana bagi orang awam."

Tentara dan penyanyi

Taiwan dan Tiongkok memiliki riwayat pertukaran politik, budaya, dan pendidikan karena bahasa yang digunakan bersama, menyediakan peluang bagi perekrut untuk membina mata-mata.

Karena pertukaran tersebut menyusut dalam beberapa tahun terakhir akibat ketegangan lintas selat dan pandemi COVID-19, analis mengatakan Beijing menemukan cara lain untuk menyusup pulau.

Tiongkok memanfaatkan penjahat, kuil ibadah, dan platform daring untuk mengakses pensiunan dan anggota dinas aktif Taiwan, menggunakan uang dan bahkan propaganda politik guna memancing mereka untuk memata-matai.

Bank informal menawarkan pinjaman kepada mereka yang mengalami kesulitan keuangan, kemudian menghapus utang mereka sebagai imbalan atas informasi.

Tiongkok merekrut beberapa mata-mata melalui gim daring.

Mereka meminta mata-mata untuk berbagi intelijen militer, seperti lokasi pangkalan dan persediaan, atau mendirikan kelompok bersenjata.

Badan intelijen Taiwan mengatakan bahwa Tiongkok menggunakan "gangster guna merekrut pensiunan dinas untuk mengorganisasi rekan-rekan mantan militer mereka membentuk 'tim penembak runduk' dan merencanakan misi penembak runduk terhadap unit militer Taiwan dan kedutaan asing."

Tiongkok juga memaksa penyanyi, pemengaruh media sosial, dan politikus untuk melakukan perintahnya, menyebarkan disinformasi, menyatakan pandangan pro-Tiongkok, atau memperoleh intelijen, kata Puma Shen, anggota legislatif dari Partai Demokratik Progresif (Democratic Progressive Party/DPP).

Jejaring mata-mata Tiongkok "tumbuh dan berkembang," ucap Shen, yang mempelajari operasi pengaruh Tiongkok dan dikenai sanksi atas dugaan "separatisme" oleh Beijing tahun lalu.

"Mereka mencoba melemahkan, tidak hanya pertahanan kami, tetapi seluruh sistem demokrasi," ujarnya.

Meningkatkan kesadaran

Presiden Lai Ching-te, yang juga anggota DPP, pada awal Maret mencap Tiongkok "kekuatan asing yang bermusuhan" ketika mengusulkan langkah-langkah untuk melawan spionase dan penyusupan Tiongkok.

Di antaranya adalah memastikan transparansi pertukaran lintas selat yang melibatkan pejabat terpilih dan mengembalikan mahkamah militer pada masa damai. Ini merupakan persoalan sensitif di Taiwan, yang pernah melalui hukum darurat militer selama hampir 40 tahun.

Survei terbaru menunjukkan sebagian besar warga negara Taiwan menentang penyatuan dengan Tiongkok.

Namun, masih ada banyak lagi yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang ancaman yang ditimbulkan oleh spionase Tiongkok terhadap Taiwan, kata Jakub Janda dari wadah pemikir European Values Center for Security Policy di Taipei.

"Jika ada yang mengkhianati negaranya sendiri, hal ini harus menjadi sesuatu yang tidak boleh diterima sama sekali," ucap Janda, yang mendukung hukuman lebih berat.

"Jika suasana seperti ini ada di masyarakat, maka intelijen Tiongkok akan lebih sulit merekrut orang."

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *