Lingkungan

Pag-asa dalam bahaya: Dampak lingkungan Tiongkok di Laut Filipina Barat

Di tengah perluasan maritim Tiongkok, terumbu karang dan mata pencaharian di sekitar Pulau Pag-asa berangsur lenyap ditelan ombak.

Rolly Dela Cruz (ka) dan istrinya (ki) dengan tangkapan malam mereka di Pulau Pag-asa, tempat penangkapan ikan yang bertambah sulit di tengah ketegangan kawasan. [Rolly Dela Cruz]
Rolly Dela Cruz (ka) dan istrinya (ki) dengan tangkapan malam mereka di Pulau Pag-asa, tempat penangkapan ikan yang bertambah sulit di tengah ketegangan kawasan. [Rolly Dela Cruz]

Oleh Shirin Bhandari |

"Bawa lampunya," ucap Rolly Dela Cruz, 42, ketika dia dan rekannya menaiki bangka mereka, perahu kayu ramping dengan cadik sebagai penyeimbang. Matahari sudah hampir tenggelam, tetapi mereka tetap berangkat, berharap mendapatkan tangkapan yang layak untuk menghidupi keluarga Dela Cruz dan dijual kelebihannya kepada para tetangga di Pulau Pag-asa (Pulau Thitu, dikenal sebagai Pulau Zhongye oleh orang Tionghoa).

Pag-asa -- artinya "harapan" dalam bahasa Tagalog -- adalah salah satu pulau yang terbentuk secara alami di area Spratly. Berada di bawah pemerintahan kota Kalayaan di provinsi Palawan, pulau itu diduduki Filipina sejak tahun 1974.

Diincar karena lokasinya yang strategis, kaya dengan perikanan, dan potensi cadangan energinya, Kepulauan Spratly diklaim oleh beberapa negara, termasuk Tiongkok, yang memaksakan hak bersejarah berdasarkan "sembilan garis putus"-nya.

Meskipun Mahkamah Arbitrase Antarbangsa memutuskan pada tahun 2016 bahwa klaim Tiongkok tidak sah, ketegangan masih saja tinggi.

Tumpukan karang yang memutih di Terumbu Rozul (Iroquois) terlihat dalam cuplikan gambar yang diambil oleh penjaga pantai Filipina, dikeluarkan pada September 2023. Gambar itu mengesankan adanya kerusakan akibat penangkapan ikan oleh milisi maritim Tiongkok. [Penjaga pantai Filipina/Facebook]
Tumpukan karang yang memutih di Terumbu Rozul (Iroquois) terlihat dalam cuplikan gambar yang diambil oleh penjaga pantai Filipina, dikeluarkan pada September 2023. Gambar itu mengesankan adanya kerusakan akibat penangkapan ikan oleh milisi maritim Tiongkok. [Penjaga pantai Filipina/Facebook]
Foto udara yang diambil pada 9 Maret 2023, menunjukkan Pulau Thitu (Pulau Pag-asa) di Laut Tiongkok Selatan. Kegiatan Tiongkok dilaporkan telah menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk perusakan karang akibat perburuan liar kerang raksasa dan pembangunan pulau di atas terumbu di sekitarnya. [Jam Sta Rosa/AFP]
Foto udara yang diambil pada 9 Maret 2023, menunjukkan Pulau Thitu (Pulau Pag-asa) di Laut Tiongkok Selatan. Kegiatan Tiongkok dilaporkan telah menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk perusakan karang akibat perburuan liar kerang raksasa dan pembangunan pulau di atas terumbu di sekitarnya. [Jam Sta Rosa/AFP]
Grafik ini menunjukkan kehadiran milisi maritim Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif Filipina sepanjang tahun 2024, yang mencapai puncaknya pada 200 kapal di dekat Terumbu Mischief pada bulan Oktober. [Center for Strategic and International Studies]
Grafik ini menunjukkan kehadiran milisi maritim Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif Filipina sepanjang tahun 2024, yang mencapai puncaknya pada 200 kapal di dekat Terumbu Mischief pada bulan Oktober. [Center for Strategic and International Studies]

Sebagai bagian dari perluasannya yang memaksa, Tiongkok memiliterisasi terumbu seperti Subi, Fiery Cross, dan Mischief sejak pertengahan 1990-an. Proses ini menyebabkan konfrontasi yang terus meningkat di seluruh Laut Filipina Barat, terutama antara kapal penjaga pantai Tiongkok dan nelayan Filipina.

Dela Cruz pindah ke Pag-asa pada tahun 2021 semenjak istrinya, seorang perawat, ditugaskan ke satuan kesehatan di pulau itu. Kehidupan di pulau merupakan campuran antara kedamaian dan kegelisahan.

'Kami hanyalah nelayan kecil'

"Ke mana pun kami pergi, penjaga pantai Tiongkok selalu berada di dekat kami," ujarnya. Lambat-laun, "kami menjadi terbiasa dengan hal itu." Dela Cruz berbagi pengalamannya dengan Focus, menggambarkan ketegangan sehari-hari dan perubahan lingkungan yang membentuk keadaan mereka untuk bertahan hidup.

Pag-asa, tempat tinggal bagi sekitar 400 warga sipil, menawarkan ketenteraman -- tetapi juga pembatasan. Penduduk pergi hanya satu atau dua kali sebulan, biasanya menggunakan pesawat militer.

"Kami harus berhati-hati; Tiongkok memantau setiap gerakan," kata Dela Cruz. "Kami kekurangan patroli, dan kapal Tiongkok lebih besar dan lebih lengkap. Kami hanyalah nelayan kecil"

Juni lalu, badan legislatif tertinggi Tiongkok mengesahkan peraturan yang mengizinkan penjaga pantainya untuk menahan “penyusup” asing di perairan yang disengketakan hingga 60 hari tanpa pengadilan. Kapal Tiongkok sering kali mengganggu atau menabrak kapal Filipina di daerah yang disengketakan seperti Scarborough Shoal dan Ayungin Shoal.

Semakin sulit menangkap ikan.

“Hanya ada sedikit ikan. Kami harus pergi setidaknya delapan mil dari pantai,” kata Dela Cruz. Ia juga menyayangkan kerusakan lingkungan yang meluas, dan mencatat bahwa “sebagian besar karang hancur dan menjadi putih seperti tepung, di mana pun Anda berenang di sekitar pulau.”

Penangkapan berlebihan dan degradasi lingkungan memaksa penduduk setempat menjelajah lebih jauh di lepas pantai menuju perairan yang semakin berbahaya.

Karang yang hancur

Penelitian baru-baru ini mendukung pengamatan Dela Cruz. Antara bulan Maret dan Juli 2024, Jonathan Anticamara, biolog di University of the Philippines-Diliman, memimpin studi yang menemukan hampir 90% karang di sekitar Pag-asa mati.

"Sebagian besar [karangnya] kecil, diselimuti ganggang dan memutih," katanya kepada Focus. "Itu kerusakan jangka panjang."

Sebagian kerusakan itu mungkin berkaitan dengan Pulau Karang Sandy 1, 2, dan 3 di dekatnya. Kendati tidak ada bukti langsung akan reklamasi, Anticamara menunjukkan bahwa pulau karang alami biasanya tidak berlereng curam dan memiliki ganggang.

Karang yang hancur bisa jadi mengindikasikan campur tangan manusia, meskipun ada faktor lain yang dapat menyebabkan kerusakan terumbu. Penelitian dan pemantauan yang berkesinambungan menjadi sulit karena risiko keselamatan, setelah kapal penjaga pantai Tiongkok menabrak sekoci karet regu peneliti dan menghancurkan perlengkapan mereka.

Degradasi yang sama muncul di Escoda Shoal, 75 mil laut dari Palawan dan dekat Beting Second Thomas -- titik panas lainnya.

"Nelayan itu seperti nomad. Mereka menangkap berlebihan di satu tempat, lalu pindah," ujar Anticamara. Tanpa wilayah yang dilindungi dan konservasi, dia memperingatkan bahwa yang akan tersisa hanyalah ikan kecil.

Kapal pukat milisi maritim Tiongkok, yang seringkali dikawali penjaga pantai Tiongkok, beroperasi sepanjang tahun di perairan Filipina. Kehadiran mereka memuncak pada 200 kapal di sekitar Terumbu Mischief pada akhir Oktober tahun lalu, menurut laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS). Armada ini sering kali masuk ke wilayah penangkapan ikan tradisional Filipina, termasuk Pag-asa, Recto Bank, dan Scarborough Shoal.

Operasi mereka menghancurkan ekosistem. Kapal pukat besar mengambil ikan secara terus menerus, memindahkan hasil tangkapan ke kapal induk, demikian dilaporkan situs berita Philstar pada 16 April lalu.

Perburuan liar Tiongkok

Tiongkok rutin menangkap spesies yang terancam punah -- kerang raksasa, ikan keling Napoleon, dan karang kipas, tambahnya. Baling-baling yang dimodifikasi menghancurkan terumbu karang. Kapal penangkap ikan Tiongkok dilaporkan mengejar lumba-lumba, penyu, dan hiu. Akibatnya, mereka mengupas habis habitat laut sampai kecil kemungkinannya untuk pulih.

Kerugian lingkungannya sangat besar.

Tiongkok meratakan 12.000 hektar terumbu karang di Terumbu Rozul dan Escoda Shoal pada tahun 2024, kata Komisioner Perubahan Iklim Filipina, Albert Dela Cruz (tidak ada pertalian dengan Rolly si nelayan), menurut berita Philstar. Ahli kelautan University of the Philippines, Deo Florence Onda, menyebutkan kerugian besar di Bajo de Masinloc dan Kalayaan, tambahnya.

Kantor analitika Belanda, Elsevier, memperkirakan ekosistem terumbu bernilai sebesar $353.429 (20 juta peso Filipina) per hektar per tahun, laporan itu menambahkan. Kerugian dari Rozul dan Escoda sendiri mungkin sebesar 216 miliar peso Filipina ($3,82 miliar) per tahun.

Mantan direktur Biro Perikanan Filipina, Asis Perez, mengatakan pada tahun 2021 bahwa Filipina rugi 7,2 juta kg ikan per bulan akibat perburuan liar Tiongkok -- setara dengan kerugian tahunan sedikitnya 8,64 miliar peso Filipina ($152,5 juta), menurut Philstar.

Persediaan ikan menyusut. Institut Biologi dari University of the Philippines, tanpa memberikan kerangka waktu, memperkirakan penurunan produksi ikan sebesar 60–80% di Laut Filipina Barat akibat kerusakan ekologi dan kondisi yang tidak menguntungkan.

Jejak kaki ekologi Tiongkok di perairan Filipina terus bertambah, tetapi pemantauan semakin sulit.

"Bukan hanya bagi kami bangsa Filipina, tetapi juga untuk semua orang di Asia Tenggara," ujar Anticamara, karena Laut Filipina Barat merupakan ekosistem bersama.

Dia menegaskan bahwa, tanpa adanya penelitian berkelanjutan dan konservasi, kawasan dapat kehilangan segalanya.

Saat nelayan seperti Rolly Dela Cruz melanjutkan rutinitas malam mereka di bawah pengawasan patroli asing, mereka tidak hanya menangkap ikan untuk bertahan hidup -- tetapi juga melestarikan seluruh ekosistem laut.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *