Ekonomi

Vietnam Bersikap Waspada terhadap Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok

Vietnam masih berhati-hati menanggapi tawaran pinjaman dan kerja sama infrastruktur dari Tiongkok yang terkait dengan BRI.

Pada 25 Mei, polisi kereta api Tiongkok terlihat berjaga di luar kereta tujuan Hanoi di Nanning, Guangxi. Sebelumnya, pada bulan Februari, Vietnam menyetujui pendanaan sebagian dari Tiongkok untuk jalur rel sepanjang 391 km senilai US$8,3 miliar yang akan menghubungkan kedua negara, dengan konstruksi yang ditetapkan akan mulai dibangun tahun ini. [Lu Boan/Xinhua via AFP]
Pada 25 Mei, polisi kereta api Tiongkok terlihat berjaga di luar kereta tujuan Hanoi di Nanning, Guangxi. Sebelumnya, pada bulan Februari, Vietnam menyetujui pendanaan sebagian dari Tiongkok untuk jalur rel sepanjang 391 km senilai US$8,3 miliar yang akan menghubungkan kedua negara, dengan konstruksi yang ditetapkan akan mulai dibangun tahun ini. [Lu Boan/Xinhua via AFP]

Oleh Jarvis Lee |

Proyek rel kereta yang akan menghubungkan Vietnam dan Tiongkok ini telah membangkitkan kembali rasa curiga Vietnam yang sudah lama ada terhadap program BRI Beijing.

Pada Februari lalu, parlemen Vietnam mengesahkan undang-undang yang menyetujui pendanaan dari Tiongkok untuk pembangunan jalur kereta baru yang akan menghubungkan kedua negara.

Proyek ini diperkirakan menelan investasi sebesar US$8,3 miliar dan akan membentang sepanjang 391 km — dari Lao Cai di perbatasan Tiongkok, melewati Hanoi, hingga pelabuhan Haiphong. Pembangunannya dijadwalkan dimulai tahun ini dan rampung tahun 2030.

Kendati demikian, rencana ini menuai peringatan dari para pengamat yang khawatir akan terulangnya masalah seperti pada Jalur Metro 2A Hanoi — jalur MRT pertama negara itu

Sebuah kereta tiba di salah satu stasiun Metro Line 2A di Hanoi, proyek bantuan Tiongkok yang sarat dengan masalah keterlambatan dan lonjakan anggaran. [Nguyen Phuong Quynh]
Sebuah kereta tiba di salah satu stasiun Metro Line 2A di Hanoi, proyek bantuan Tiongkok yang sarat dengan masalah keterlambatan dan lonjakan anggaran. [Nguyen Phuong Quynh]

Proyek tersebut, yang dibangun oleh China Railway Sixth Group milik pemerintah Tiongkok, mengalami keterlambatan selama bertahun-tahun dan pembengkakan anggaran. Awalnya diperkirakan menelan biaya US$552 juta, tetapi membengkak menjadi US$868 juta, dengan pinjaman dari Tiongkok sebesar US$669 juta, menurut laporan Hong Kong Trade Development Counci.

Layanan ini mulai beroperasi pada 2021. Jumlah penumpang turun drastis setelah masa uji coba gratis. Video daring terbaru memperlihatkan banyak gerbong kereta yang hampir kosong.

Butuh waktu sepuluh tahun untuk menyelesaikan jalur sepanjang 13 km tersebut.

Menurut Nguyen Hac Giang, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute, BRI menghadapi banyak kontroversi di Asia, dengan sentimen anti-Tiongkok, pembengkakan biaya, dan isu kualitas menjadi masalah utama.

“Meskipun memenuhi kewajibannya, perusahaan Tiongkok akan terus diawasi secara ketat,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa, baik pemerintah maupun masyarakat Vietnam masih ‘sangat curiga’ terhadap investasi Tiongkok, terutama setelah proyek MRT mengalami masalah keselamatan dan biaya yang membengkak.

Meningkatnya skeptisisme

“Keterlambatan dan masalah kualitas dalam berbagai proyek sebelumnya, telah memicu frustrasi publik,” sementara kekhawatiran yang semakin besar akan jebakan utang, yang terkait dengan pinjaman Tiongkok “hanya semakin memperkuat skeptisisme masyarakat,” kata Ha Hoang Hop, ketua lembaga pemikir Viet Know yang berbasis di Hanoi, kepada Voice of America pada bulan Februari.

Meski Hanoi tengah mengupayakan pinjaman dari Tiongkok untuk proyek kereta api baru, sebelumnya Vietnam memilih pembiayaan domestik untuk membangun jalur kereta cepat utara-selatan — "sebuah keputusan yang menegaskan komitmen Vietnam terhadap kemandirian strategis,” katanya.

“Sebagian besar masyarakat masih merasa khawatir dengan meningkatnya ketergantungan ekonomi terhadap Tiongkok,” ujarnya.

Tiongkok hanya menjadi mitra pembangunan kelima terbesar bagi Vietnam, menjadikan Vietnam salah satu dari sedikit negara di Asia Tenggara di mana Tiongkok bukanlah penyedia dana utama, menurut laporan Lowy Institute Australia pada Maret lalu.

Investasi Tiongkok di Vietnam juga sangat terkonsentrasi — 84% dari pengeluaran Tiongkok di Vietnam dialokasikan untuk sektor energi, mencerminkan keterlibatan yang terbatas dan sikap Vietnam yang sangat hati-hati.

Sikap masyarakat Vietnam mencerminkan kehati-hatian tersebut.

Menurut laporan State of Southeast Asia 2025 dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, 74,8% responden rakyat Vietnam menyebut agresi Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan sebagai perhatian geopolitik utama pemerintah mereka.

Sekitar 51% responden menyatakan tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kepercayaan bahwa Tiongkok akan "mengambil tindakan yang benar" demi perdamaian dan keamanan dunia.

Baik pemerintah Vietnam maupun masyarakat umum memandang perilaku Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara, kata Nguyen.

"Saya kira hal itu akan sangat menyulitkan Tiongkok untuk benar-benar mempererat hubungannya dengan Vietnam, dan tidak akan ada perubahan besar dalam kebijakan Vietnam terhadap Tiongkok," kata Nguyen.

[Bagian III dari IV dalam seri tentang Belt and Road Initiative Tiongkok di Asia Tenggara]

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *