Oleh Li Hsian |
Dalam beberapa tahun terakhir, Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) aktif berinvestasi dalam kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) generatif untuk pelbagai aplikasi mulai dari analisis intelijen hingga operasi kepengaruhan, menurut para peneliti.
TPR dan industri pertahanan Tiongkok mengintegrasikan model bahasa besar (large language model, LLM) dalam negeri dan asing guna mengembangkan AI generatif untuk keperluan militer dan intelijen, menurut laporan Insikt Group, divisi penelitian ancaman dari perusahaan keamanan siber Recorded Future, pada 17 Juni.
Menurut laporan tersebut, TPR merancang metode dan sistem yang memanfaatkan AI generatif untuk tugas intelijen inti seperti menghasilkan produk intelijen sumber terbuka (OSINT), mengolah citra satelit, merangkum peristiwa, dan menangani data intelijen.
Kontraktor pertahanan Tiongkok mengklaim telah memasok TPR dengan alat bantu yang menggunakan model domestik seperti DeepSeek, tambahnya. TPR kemungkinan mengadopsi DeepSeek dengan cepat setelah rilis model V3 dan R1 pada Desember dan Januari lalu.
![Logo DeepSeek tampak di layar ponsel dengan bendera Tiongkok, diperlihatkan di laptop dalam gambar yang diambil di Krakow, Polandia, pada 28 Januari. TPR dilaporkan menggunakan DeepSeek, model bahasa besar dalam negeri, dalam operasi intelijen militer. [Jakub Porzycki/NurPhoto via AFP]](/gc9/images/2025/07/10/51128-afp__20250128__porzycki-deepseek250128_nplsf__v1__highres__deepseekphotoillustration-370_237.webp)
Pengajuan paten Tiongkok yang dikaji Insikt Group dan Reuters menunjukkan bahwa lembaga penelitian yang berafiliasi dengan negara, termasuk Akademi Ilmu Militer, mengusulkan pelatihan LLM militer menggunakan input intelijen multisumber, termasuk OSINT, intelijen manusia, intelijen sinyal, intelijen geospasial, dan intelijen teknis.
Model itu dirancang untuk mendukung semua fase siklus intelijen dan mempertajam pengambilan keputusan di medan perang.
Beberapa proposal mengusulkan penggunaan model pembuatan video Sora dari OpenAI untuk perang kognitif, termasuk pembuatan gambar palsu yang realistis untuk menyesatkan musuh.
"Jaringan pengaruh rahasia Tiongkok menggunakan AI generatif untuk melakukan operasi kepengaruhan daring," bunyi laporan Insikt Group itu, yang menandakan kemampuan itu telah beralih dari fase eksperimental ke operasional.
Perluasan infrastruktur AI di Tiongkok menimbulkan kekhawatiran.
Tiongkok mendirikan sedikitnya satu pusat data di setiap provinsi, demikian isi laporan gabungan bulan Mei oleh Strider Technologies dan Special Competitive Studies Project.
Pada pertengahan 2024, Tiongkok membangun atau mengumumkan lebih dari 250 pusat data AI untuk mencapai sasaran komputasi AI sebesar 105 EFLOPS (satuan daya komputasi) pada 2025. Perkiraan kapasitas komputasi total dapat melebihi 750 EFLOPS untuk seluruh beban kerja.
Laporan tersebut menyebut dua fasilitas luar negeri, satu di Jakarta sejak Mei 2024 dan satu lagi diumumkan awal 2025 di Pasig, Filipina, sebagai bagian dari upaya Tiongkok untuk memperluas kapasitas komputasi global di luar pembatasan ekspor AS.
Risiko tinggi
Jika Tiongkok mengintegrasikan AI generatif ke analisis intelijen dan perencanaan militer, TPR akan lebih awas soal situasi di Indo-Pasifik, khususnya di Selat Taiwan, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Tiongkok Timur, kata Wang Xiu-wen, asisten rekan peneliti di Institute for PRC Military Affairs and Operational Concepts di Institute for National Defense and Security Research (INDSR) Taiwan, kepada Focus.
Pengambilan keputusan dengan bantuan AI di Tiongkok tampak semakin canggih, katanya.
Sistem seperti "Zhàn Lú" (Tengkorak Perang) dapat menganalisis secara mandiri input medan perang, mengeluarkan perintah, dan memilih kombinasi senjata optimal, memungkinkan perang cepat dan otomatis yang dipimpin platform tak berawak.
Namun, AI generatif saat ini masih rentan terhadap kesalahan fakta yang serius, kata Wang.
Di wilayah berisiko tinggi, kesalahan seperti itu dapat memicu konflik yang tidak diinginkan.
Percepatan militerisasi AI generatif oleh TPR membuat lanskap keamanan internasional menghadapi tantangan yang semakin besar.
Laporan 2023 oleh Center for a New American Security mencatat: "Kenyataan yang disesalkan, tetapi tidak terelakkan, di Asia Timur adalah terjadinya perlombaan teknologi-militer, yang melibatkan AI militer."
Kampanye disinformasi dan perang kognitif yang didukung AI menambah rumit lingkungan informasi di area sensitif seperti Indo-Pasifik, memudahkan pecahnya konfrontasi.
Untuk mengatasi ancaman ini, laporan Insikt Group menyarankan agar AS dan sekutunya mengawasi ketat perkembangan adopsi AI oleh TPR, menilai risiko sehubungan dengan transfer teknologi dan kontraintelijen, serta merumuskan tanggapan strategis.
Wang juga mengimbau negara demokratis di Indo-Pasifik untuk mempercepat integrasi dan kerja sama intelijen serta mengeksplorasi teknologi seperti blockchain untuk penyimpanan informasi terdesentralisasi. Hal ini dapat meningkatkan kelincahan dan ketangguhan dalam melawan sistem intelijen militer Tiongkok berbasis AI.