Oleh Shirin Bhandari |
Hubungan keamanan Filipina dan Vietnam semakin kuat dengan kerja sama menghadapi tantangan yang meningkat di Laut Tiongkok Selatan.
Kedua negara menentang klaim Tiongkok atas lebih dari 80% wilayah laut itu.
Komandan AL Filipina Laksdya Jose Maria Ambrosio Ezpeleta dan rekan imbangannya dari Vietnam Tran Thanh Nghiem pada 23 September berunding di Manila, menegaskan kembali komitmen mereka untuk mempererat kerja sama melalui kegiatan bersama, bantuan kemanusiaan, dan dialog rutin.
Kunjungan itu menggarisbawahi semakin pentingnya kemitraan mereka dalam menghadapi pelbagai klaim dan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.
![Penjaga pantai Filipina memberi hormat di atas kapal Gabriela Silang saat kapal Vietnam melintas dalam latihan gabungan pertama kedua negara, termasuk latihan pemadaman kebakaran serta pencarian dan penyelamatan, di lepas pantai Bataan pada 9 Agustus 2024. [Ted Aljibe/AFP]](/gc9/images/2025/10/02/52237-afp__20240809__36cw4fw__v3__highres__philippinesvietnammaritimeexercise__1_-370_237.webp)
Tujuh negara berbatasan dengan laut itu.
"Kita tetangga maritim dengan jarak berdekatan. Kata pepatah, tak kenal maka tak sayang" ujar Nghiem, menurut media lokal Filipina. Dia menambahkan bahwa kedua negara "memiliki kepentingan, juga kesulitan, yang sama, yang harus kita atasi bersama demi perdamaian dan stabilitas."
Memuji keberhasilan Pertukaran Personel Filipina-Vietnam yang diadakan di Kepulauan Spratly bulan Juli lalu, Nghiem menekankan perlunya kelanjutan inisiatif itu. "Hasilnya sangat bagus dengan koordinasi angkatan laut kita yang mantap," ujarnya.
Hubungan kemanusiaan
Kerja sama itu selalu diwarnai aspek kemanusiaan.
Sejak 2011, AL Filipina menyelamatkan 23 nelayan Vietnam, sementara AL Vietnam menyelamatkan 60 orang Filipina di laut.
Ezpeleta menyampaikan apresiasinya atas dukungan Vietnam, terutama soal penyelamatan nelayan Filipina. "Kita memiliki hubungan yang sangat baik. Kita saling membantu dalam banyak hal, terutama karena menghadapi masalah dan kekhawatiran yang sama," ujarnya.
"Semoga kita bisa menemukan cara meredakan tekanan di laut kita sekaligus memperkuat kemitraan ini."
Jumlah nelayan yang diselamatkan menunjukkan manfaat kerja sama angkatan laut bagi masyarakat di samping aspek keamanan, kata kedua pemimpin.
Kemitraan ini bergeser dari sikap simbolis menjadi langkah operasional konkret, kata analis. Hubungan ini "melampaui simbolisme menuju kerja sama praktis," ujar Tran Thi Mong Tuyen, peneliti di Pacific Forum, kepada South China Morning Post (SCMP).
Kemitraan ini "berkembang menuju kerja sama operasional," ujarnya. Jika berlanjut, kegiatan seperti kunjungan kapal AL atau komunikasi antar-kapal "dapat menjadikan kemitraan Vietnam-Filipina sebagai model kolaborasi maritim praktis di Laut Tiongkok Selatan."
Saat genting
Waktu kerja sama ini sangat menentukan. Pada 2026, Filipina akan memimpin ASEAN, yang memungkinkan Manila memimpin prakarsa ekonomi dan politik regional sekaligus membentuk tanggapan kolektif terhadap tantangan keamanan.
Presiden Ferdinand Marcos Jr. menyatakan bahwa penerapan pedoman perilaku yang mengikat di Laut Tiongkok Selatan akan menjadi prioritas. Dengan dukungan Vietnam, mereka dapat memberikan momentum bagi konsensus ASEAN dalam salah satu isu paling kontroversial di organisasi itu.
Kerja sama Filipina-Vietnam yang lebih erat dapat mendorong negara ASEAN lain seperti Malaysia dan Brunei untuk bergabung dengan mereka.
Manila dan Hanoi "harus mendorong perumusan pedoman perilaku bagi negara ASEAN dan mitra keamanan di luar ASEAN yang bersedia sebagai dasar pedoman perilaku yang lebih luas dan final dengan Tiongkok," ujar Chester Cabalza, presiden wadah pemikir International Development and Security Cooperation yang berbasis di Manila, menurut SCMP.
Kedua negara itu "mampu menyelaraskan posisi mereka," tambah Phan Xuan Dung, peneliti di ISEAS–Yusof Ishak Institute di Singapura.
Kedekatan dengan Vietnam mencerminkan strategi diversifikasi kerja sama keamanan Manila yang lebih luas. Selain pakta pertahanan dengan AS, Filipina beberapa tahun ini memperkuat kerja sama pertahanan dengan Jepang, Australia, dan India, sekaligus membuka dialog perdagangan dengan Taiwan. Pendekatan multilateral ini berkebalikan dengan kebijakan "empat larangan" Vietnam: tidak ada aliansi militer, tidak memihak dengan kekuatan mana pun, tidak ada pangkalan asing, dan tidak menyerang lebih dahulu.
Standar ganda Tiongkok
Reaksi Tiongkok memperlihatkan standar gandanya.
Beijing bersikap lebih keras kepada Manila dibandingkan Hanoi karena Filipina beraliansi dengan AS dan mengungkap tindakan Tiongkok melalui "transparansi yang tegas," tulis Derek Grossman, ilmuwan politik di University of Southern California, dalam Foreign Policy edisi September.
Diplomasi senyap Vietnam menghindarkannya dari pembalasan serupa padahal sedang memperluas pulau buatannya di Kepulauan Spratly.
Perbedaan ini, kata Grossman, mencerminkan sistem politik dan kebijakan luar negeri.
"Manila bisa saja meniru Hanoi, tetapi itu tidak bisa diterima rakyat Filipina," tulis Grossman.
Di mata mereka, "menghentikan perlawanan terhadap Tiongkok sama saja dengan menyerah."
![Tran Thanh Nghiem (kiri), komandan AL Vietnam, berbincang dengan rekan imbangannya dari Filipina, Laksdya Toribio Adaci Jr. (kanan), pada 23 September di Manila mengenai peningkatan kerja sama keamanan maritim dan hubungan pertahanan. [Angkatan Bersenjata Filipina]](/gc9/images/2025/10/02/52236-meeting-370_237.webp)