Oleh Focus |
Saat Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) berupaya memperluas pengaruh dan jangkauan global Tiongkok, mereka memperluas infrastruktur darat untuk membangun sistem yang memungkinkan pertukaran data antara aset darat, laut, udara, dan antariksa.
Stasiun telemetri, lokasi peluncuran, pusat kendali satelit, stasiun penerimaan data, jaringan komunikasi, dan jaringan pelacakan antariksa jauh adalah area yang diprioritaskan untuk dikembangkan, demi kepentingan sipil maupun militer.
Liao Wang-1, kapal pendukung antariksa dan pengumpul data intelijen, mulai beroperasi pada bulan April, menunjukkan kemampuan intelijen sinyal (SIGINT) terbaru Tiongkok.
Menurut firma intelijen Grey Dynamics di London, Liao Wang-1 dirancang untuk memantau satelit militer, melacak peluncuran rudal, dan berfungsi sebagai pusat komando dan kendali bergerak untuk operasi antariksa dan laut.
![Liao Wang-1, kapal pendukung antariksa dan pengumpul data intelijen, mulai beroperasi pada bulan April. [media sosial]](/gc9/images/2025/11/14/52783-Liao-Wang-1-370_237.webp)
![Para kepala negara dan diplomat menghadiri KTT Asia Timur ke-20 selama KTT ASEAN ke-47 di Kuala Lumpur pada 27 Oktober. [Mohd Rasfan/AFP]](/gc9/images/2025/11/14/52784-asean-summit-malaysia-370_237.webp)
Tiongkok menyatakan kapal tersebut—yang menggantikan kapal pelacak kelas Yuan Wang—digunakan untuk penelitian ilmiah. Namun, sejumlah negara lain, termasuk India dan Amerika Serikat, menyatakan kekhawatiran bahwa kapal-kapal ini digunakan untuk kegiatan pengintaian.
Rencana lima tahun Tiongkok untuk infrastruktur antariksa sipil akan selesai pada Desember, dan rencana baru untuk 10 tahun ke depan diperkirakan akan dirilis tahun depan.
Banyak yang memperkirakan rencana baru tersebut akan membuka peluang lebih luas bagi perusahaan komersial untuk memasuki sektor antariksa, serta memperluas teknologi dwiguna yang dapat digunakan baik untuk tujuan komersial maupun militer.
Fokus pada negara-negara tetangga
Pada bulan April, Beijing mengadakan Konferensi Sentral tentang Pekerjaan Terkait Negara Tetangga—pertemuan pertama dalam lebih dari satu dekade—menandakan meningkatnya fokus kebijakan luar negeri terhadap negara-negara tetangga di kawasan.
Menjelang konferensi tersebut, Beijing membuka Global South Research Center, menyoroti rencananya memperdalam hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara.
Melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), Tiongkok telah membangun jaringan infrastruktur darat dan laut yang luas untuk memperluas pengaruh ekonomi dan strategisnya.
Tiongkok menggunakan atau pernah menggunakan setidaknya 18 stasiun bumi di Afrika, Amerika Latin, Asia Selatan, Pasifik Selatan, dan Antartika untuk berkomunikasi dengan wahana antariksa.
Fasilitas di Eropa dan Australia digunakan hingga tahun 2020. Pemiliknya, perusahaan Swedia, memutuskan untuk tidak memperbarui kontraknya dengan Tiongkok.
Sejak tahun 2022, Tiongkok telah menandatangani 26 perjanjian kerja sama antariksa bilateral dengan lebih dari selusin negara.
Perjanjian tersebut mencakup rencana bagi astronot asing untuk membantu misi Tiongkok, penggunaan fasilitas peluncuran, pertukaran dan pelatihan personel, kerja sama dalam proyek antariksa jauh, pengembangan satelit, dan berbagi data.
Hingga kini, lebih dari 15 negara telah meluncurkan satelit melalui Tiongkok, sementara diplomasi antariksa Tiongkok mencakup perjanjian dengan negara-negara lain serta organisasi regional dan multilateral.
Tiongkok sebelumnya menjalin kerja sama antariksa dengan negara-negara Barat, tetapi meningkatnya ketegangan dan persaingan global telah meregangkan hubungan, dan data terbaru menunjukkan adanya pergeseran fokus ke arah kerja sama dengan negara-negara berkembang.
Masuk ke Asia Tenggara
“Tiongkok telah mengerahkan upaya besar untuk membangun kerja sama pertahanan yang lebih kuat dengan negara-negara Asia Tenggara,” terutama dengan negara-negara di daratan Asia Tenggara, kata Susannah Patton, wakil direktur riset Lowy Institute, dalam analisis bulan Agustus.
“Langkah-langkah lebih jauh—terutama jika kerja sama pertahanan yang masih awal dengan Indonesia dan Malaysia berkembang menjadi lebih substansial—akan memperkuat narasi Tiongkok dan memberinya jalur baru untuk mengejar kepentingannya,” katanya.
“Jika tren saat ini terus berlanjut, Asia Tenggara berisiko terbelah menjadi dua kubu: negara-negara maritim dengan hubungan pertahanan kuat dengan Amerika Serikat dan sekutunya, dan negara-negara daratan yang tidak memiliki kerja sama seperti itu,” tambahnya.
Pada akhir Agustus dan awal September, kepala negara Asia Tenggara dari Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam menghadiri KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) dan Parade Hari Kemenangan Tiongkok.
Pengamat mencatat keikutsertaan negara-negara tersebut menunjukkan diplomasi Tiongkok dengan negara-negara tetangga geografis sangat penting bagi strategi regional barunya.
Namun, meskipun upaya Tiongkok memperluas hegemoninya mendapat dukungan dari negara-negara tetangga, legitimasi tersebut masih rapuh dan sarat dengan kekhawatiran.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) diperkirakan akan menandatangani pakta dengan Tiongkok pada akhir tahun ini untuk memperluas peluang perdagangan dan ekonomi.
Dalam empat bulan pertama tahun ini, perdagangan Tiongkok–ASEAN mencapai $331 miliar.
Tiongkok secara signifikan meningkatkan ekspor ke Thailand dan Vietnam, dan para analis menilai penguatan kerja samanya dengan negara-negara Asia Tenggara mencerminkan ambisinya untuk mengambil peran keamanan yang lebih besar sekaligus memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut.
Tiongkok bertujuan untuk “setidaknya membuat negara-negara Asia Tenggara mempertimbangkan kepentingan Beijing terkait isu Laut Tiongkok Selatan dan Taiwan,” kata Collin Koh, peneliti senior di S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura.
Namun, beberapa negara ASEAN tetap “khawatir terhadap potensi implikasi keamanan dari kedekatannya dengan Tiongkok,” ujar Koh.
![Asia Tenggara tampak dari Stasiun Luar Angkasa Internasional pada Desember 2021. [NASA]](/gc9/images/2025/11/14/52782-Southeast-Asia-ISS-370_237.webp)