Diplomasi

Ketegangan Jepang–Tiongkok meningkat akibat pernyataan Takaichi mengenai Taiwan

Kemurkaan Beijing memperburuk hubungan bilateral dan memunculkan krisis baru bagi pariwisata Jepang yang banyak ditopang oleh wisatawan Tiongkok.

Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi (tengah) menjawab pertanyaan dalam sesi Komite Anggaran Majelis Tinggi di Gedung National Diet, Tokyo, pada 12 November. [Kazuhiro Nogi/AFP]
Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi (tengah) menjawab pertanyaan dalam sesi Komite Anggaran Majelis Tinggi di Gedung National Diet, Tokyo, pada 12 November. [Kazuhiro Nogi/AFP]

Oleh Wu Qiaoxi |

Jepang dan Tiongkok kini terlibat dalam salah satu ketegangan diplomatik paling serius dalam beberapa tahun terakhir setelah Perdana Menteri Sanae Takaichi menyatakan Jepang bisa merespons secara militer jika terjadi konflik terkait Taiwan.

Ketika ditanya apakah skenario “kontinjensi Taiwan” berupa blokade angkatan laut Tiongkok dapat dikategorikan sebagai “situasi yang mengancam kelangsungan hidup” bagi Jepang, Takaichi mengatakan dalam kesaksian di Komite Anggaran Majelis Rendah pada 7 November bahwa penggunaan kekuatan oleh Tiongkok di sekitar Taiwan dapat dianggap sebagai “ancaman eksistensial.”

Dalam sesi parlemen pada hari yang sama, Takaichi memperingatkan bahwa “situasi mengenai Taiwan sudah menjadi serius. Kita harus mengasumsikan skenario terburuk,” sebuah pernyataan yang lebih tegas dibandingkan pemimpin Jepang sebelumnya dalam menjabarkan kemungkinan respons militer terhadap krisis Taiwan.

Di bawah undang-undang keamanan yang diadopsi pada tahun 2015, “situasi yang mengancam kelangsungan hidup” memungkinkan Jepang menggunakan hak bela diri kolektif secara terbatas untuk membantu sekutu dekat meskipun Jepang sendiri tidak diserang secara langsung.

Dua turis Tiongkok dalam balutan kimono mengunjungi Kuil Sensoji di Tokyo pada 15 November, ketika Beijing mengimbau warganya untuk menghindari perjalanan ke Jepang di tengah perselisihan terkait komentar perdana menteri baru tentang Taiwan. [Greg Baker/AFP]
Dua turis Tiongkok dalam balutan kimono mengunjungi Kuil Sensoji di Tokyo pada 15 November, ketika Beijing mengimbau warganya untuk menghindari perjalanan ke Jepang di tengah perselisihan terkait komentar perdana menteri baru tentang Taiwan. [Greg Baker/AFP]
Seorang petugas keamanan berjaga di luar Kedutaan Besar Jepang di Beijing pada 14 November. Tiongkok memanggil duta besar Jepang terkait pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi mengenai Taiwan. [AFP]
Seorang petugas keamanan berjaga di luar Kedutaan Besar Jepang di Beijing pada 14 November. Tiongkok memanggil duta besar Jepang terkait pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi mengenai Taiwan. [AFP]

Sebagai tanggapan, Beijing pada 14 November mengimbau warganya untuk menghindari perjalanan ke Jepang dan memperingatkan para pelajar agar meninjau ulang rencana studi mereka, dengan alasan “risiko keamanan” dan meningkatnya sentimen anti-Tiongkok setelah perselisihan politik tersebut.

Tokyo keesokan harinya mengajukan protes resmi atas langkah itu, mendesak Tiongkok untuk mengambil “langkah yang sesuai” dan membantu membangun hubungan bilateral yang stabil.

Saham pariwisata dan retail Jepang anjlok pada 17 November setelah keluarnya peringatan perjalanan dari Tiongkok. Turis Tiongkok adalah sumber terbesar wisatawan asing ke Jepang dan menjadi pendorong utama belanja retail serta sektor perhotelan. Harga saham terus turun ketika Hong Kong dan Makau mengikuti langkah Beijing dengan menerbitkan imbauan perjalanan serupa.

Neo Wang, analis makro Tiongkok utama di Evercore ISI New York, mengatakan kepada Bloomberg bahwa Beijing kembali “memanfaatkan daya belanja turis Tiongkok” untuk meningkatkan tekanan politik terhadap sikap Takaichi soal Taiwan.

Ketegangan yang meningkat

Beijing mengecam pernyataan Takaichi sebagai “campur tangan serius terhadap urusan dalam negeri Tiongkok” dan memanggil duta besar Jepang untuk menyampaikan protes saat larut malam, yang sangat jarang terjadi sebelumnya.

Wakil Menteri Luar Negeri Sun Weidong mengatakan isu Taiwan “adalah garis merah yang tidak boleh dilanggar,” sementara juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian memperingatkan bahwa siapa pun yang berusaha menghalangi reunifikasi Tiongkok akan menghadapi “hantaman langsung” dan “kegagalan.”

Perselisihan semakin memanas ketika Konsul Jenderal Xue Jian di Osaka menulis di platform X bahwa “leher kotor yang menyusup” harus dipotong “tanpa ragu sedetik pun,” sebuah komentar yang ramai ditafsirkan di Jepang sebagai ancaman terhadap perdana menteri.

Unggahan itu kemudian dihapus, tetapi Tokyo tetap memanggil duta besar Tiongkok dan mengecam bahasa Xue sebagai “sangat tidak pantas.” Sejumlah anggota parlemen dari Partai Demokrat Liberal yang berkuasa mendesak pemerintah mempertimbangkan untuk menyatakan Xue sebagai persona non grata jika Beijing gagal mengendalikan tindakannya.

Media pemerintah Tiongkok juga mengkritik pernyataan Takaichi.

Akun media sosial yang berafiliasi dengan CCTV mengatakan Takaichi “harus bertangung jawab” atas sikapnya, sementara komentar lainnya memperingatkan bahwa Jepang berisiko mengalami kekalahan “telak” jika campur tangan secara militer dalam isu Taiwan dan menuduh Tokyo berupaya menghidupkan kembali militerisme era perang.

Ketegangan terbaru ini terjadi di tengah dinamika kawasan yang memang sudah bergejolak.

Pada 16 November, kapal-kapal penjaga pantai Tiongkok menghabiskan berjam-jam di perairan sekitar Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang—dikenal sebagai Diaoyu di Tiongkok—sementara pasukan Tiongkok terus menggelar latihan rutin di sekitar Taiwan.

Tiongkok mengklaim seluruh Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan telah mengancam akan menggunakan kekuatan untuk membawa pulau itu berada di bawah kendalinya. Posisi Taiwan berada hanya sekitar 100 km dari pulau-pulau barat daya Jepang dan berada dekat jalur laut penting bagi impor energi Jepang serta menjadi lokasi beberapa pangkalan utama AS.

Presiden Taiwan Lai Ching-te mengecam kehadiran Tiongkok di dekat Kepulauan Senkaku/Diaoyutai sebagai “serangan multifaset” terhadap Jepang. Ia mendesak Beijing untuk menunjukkan pengendalian diri dan bertindak sebagai kekuatan besar yang bertanggung jawab, bukan sebagai “biang masalah.”

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *