Keamanan

Legitimasi politik Tiongkok membentuk strategi militer terhadap Taiwan, menurut laporan.

Beijing mungkin mengambil risiko yang lebih besar, termasuk tindakan militer terhadap Taiwan, tetapi kemungkinan besar akan memilih blokade atau perebutan pulau-pulau lepas pantai daripada invasi skala penuh, menurut RAND.

Foto yang diambil pada 20 Desember lalu ini memperlihatkan Xi Jinping meninjau pasukan selama inspeksi di Makau, Tiongkok. Laporan RAND menunjukkan bahwa kesudian Tiongkok untuk terlibat dalam konflik militer skala besar bergantung pada seberapa kuat legitimasi politiknya. [Li Gang/Xinhua via AFP]
Foto yang diambil pada 20 Desember lalu ini memperlihatkan Xi Jinping meninjau pasukan selama inspeksi di Makau, Tiongkok. Laporan RAND menunjukkan bahwa kesudian Tiongkok untuk terlibat dalam konflik militer skala besar bergantung pada seberapa kuat legitimasi politiknya. [Li Gang/Xinhua via AFP]

Oleh Hua Ziliang |

Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Tiongkok lebih peduli dengan menjaga kekuasaan Partai Komunis Tiongkok (PKT) alih-alih mengutamakan konflik militer, meskipun TPR melakukan berbagai latihan di Laut Tiongkok Selatan dan Pasifik Barat, menurut laporan terbaru dari RAND Corporation.

Laporan itu yang berjudul "Political Legitimacy and the People's Liberation Army" (Legitimasi Politik dan Tentara Pembebasan Rakyat) diterbitkan pada akhir Januari oleh wadah pemikir Amerika Serikat.

Laporan itu mengkaji perkembangan legitimasi politik Tiongkok sejak tahun 1949, mulai dari kharisma revolusioner Mao Zedong, model kemakmuran ekonomi Deng Xiaoping, hingga populisme nasional Xi Jinping saat ini.

Ketergantungan Xi pada populisme nasional memperkuat peran TPR dalam menunjukkan kekuatan nasional melalui modernisasi militer, dikatakan para penulis.

Namun, TPR tetap “enggan melakukan eskalasi besar yang dapat menyebabkan banyak korban jiwa” karena kerugian semacam itu melemahkan legitimasi PKT.

Laporan itu menguraikan empat kemungkinan skenario masa depan, dengan tiga di antaranya -- Tiongkok yang Diremajakan (Rejuvenated China), Tiongkok yang Diradikalisasi (Radicalized China), dan Tiongkok yang Dibentengi (Fortress China) -- membawa implikasi besar bagi Taiwan dan keamanan kawasan.

Dalam skenario Tiongkok yang Diremajakan, PKT mengatasi tantangan ekonomi dan memperkuat ekonominya, yang membuat TPR lebih mampu menghadapi militer AS.

Beijing mungkin mengambil risiko yang lebih besar, termasuk tindakan militer terhadap Taiwan, tetapi kemungkinan besar akan memilih blokade atau perebutan pulau-pulau lepas pantai daripada invasi berskala penuh.

Jika gejolak politik internal muncul dalam skenario Tiongkok yang Diradikalisasi, PKT mungkin akan menggunakan nasionalisme ekstrem untuk menangkis ketegangan dalam negeri, sehingga meningkatkan kemungkinan tindakan berisiko seperti blokade atau serangan udara terhadap Taiwan. Namun, langkah semacamnya dapat meningkat menjadi konflik yang tidak terbendung.

Di sisi lain, jika penurunan ekonomi dan kegagalan tata kelola pemerintahan mendorong Tiongkok bersikap defensif yang digambarkan oleh skenario Tiongkok yang Dibentengi, TPR akan mengutamakan stabilitas dalam negeri di atas konflik eksternal. Bahkan dalam kasus ini, Beijing masih dapat memberikan tekanan kepada Taiwan melalui serangan siber dan pemaksaan ekonomi.

Tindakan militer

Meskipun laporan RAND menunjukkan bahwa Tiongkok kemungkinan takkan meluncurkan perang skala besar terhadap Taiwan dalam jangka pendek, Tiongkok telah mempercepat pembangunan militernya untuk “bersiap-siap merebut Taiwan pada tahun 2027,” Komandan Komando Strategis AS, Jenderal Anthony J. Cotton, memperingatkan pada konferensi pertahanan di bulan Maret.

Tiongkok sudah menetapkan sasaran kesiapan militer untuk tahun 2027 dan 2030, selaras dengan tujuan pengembangan militernya yang lebih luas, ungkap Chieh Chung, anggota peneliti di Association of Strategic Foresight di Taiwan, kepada Epoch Times pada bulan Februari.

Xi mengaitkan tujuan jangka panjang PKT untuk “peremajaan besar” Tiongkok pada tahun 2049 dengan “penyatuan kembali lintas selat”. Jika reunifikasi damai tampak muskil tercapai, tindakan militer bisa menjadi pilihan yang layak, Chieh menjelaskan.

Kesudian PKT untuk terlibat dalam konflik militer berskala besar bergantung pada kekuatan legitimasi politiknya, kata RAND.

Tiongkok yang stabil dan kuat mungkin akan mengambil risiko militer yang diperhitungkan, sementara ketidakstabilan internal dapat mendorong PKT untuk memobilisasi nasionalisme, yang berujung pada tindakan lebih agresif.

Untuk menghadapi potensi ancaman ini, RAND mengusulkan agar Taiwan meningkatkan kemampuan pertahanannya, memantau dinamika internal Tiongkok secara cermat, dan memperkuat kemitraan dengan sekutu internasional guna menjaga stabilitas kawasan dan mencegah eskalasi militer.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *