Oleh Jarvis Lee |
Pemerintah Australia sedang mempertimbangkan untuk mengambil kembali kendali atas Pelabuhan Darwin yang strategis di wilayah utara negara itu, langkah yang telah memicu gesekan diplomatik dengan Tiongkok.
Sejak tahun 2015, Pelabuhan Darwin disewakan selama 99 tahun kepada perusahaan Tiongkok, Landbridge Group—kesepakatan yang telah lama menjadi kontroversi, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menyampaikan posisinya dengan jelas saat kampanye pemilihan ulang pada bulan April, dengan menyatakan pelabuhan tersebut seharusnya “berada di tangan Australia.”
Ia menyebutkan salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah melibatkan dana pensiun Australia untuk membeli Pelabuhan Darwin dari Landbridge Group.
![Duta Besar Tiongkok untuk Australia, Xiao Qian (kiri), menginspeksi operasi yang dijalankan oleh perusahaan Tiongkok, Landbridge Group, di Pelabuhan Darwin. [Kedutaan Besar Tiongkok di Canberra]](/gc9/images/2025/06/11/50756-xiao_qian-370_237.webp)
Menurutnya, keputusan ini didasarkan pada kekhawatiran terhadap keamanan nasional, sekaligus menegaskan komitmen pemerintah untuk melindungi kedaulatan negara.
"Jika sampai pada titik di mana Pemerintah Federal perlu turun tangan secara langsung, maka kami siap untuk melakukannya," katanya.
Pernyataan ini memicu protes keras dari Beijing.
“Proyek dan investasi seperti ini seharusnya didukung, bukan justru diperlakukan sebagai kesalahan. Secara etika patut dipertanyakan ketika pelabuhan disewakan saat belum menguntungkan, tetapi kemudian ingin diambil kembali setelah mulai menghasilkan laba,” ujar Duta Besar Tiongkok untuk Australia, Xiao Qian, dalam wawancara media bersama akhir Mei lalu.
Xiao mendesak pemerintah Australia untuk menghormati perjanjian sewa dengan Landbridge Group.
Ia juga menambahkan Landbridge Group telah menanamkan investasi yang cukup besar di Pelabuhan Darwin dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal, dan pengambilalihan kembali sewa pelabuhan bisa berdampak buruk pada kerja sama ekonomi dan rasa saling percaya antara kedua negara.
Pelabuhan yang strategis
Pelabuhan Darwin memiliki nilai strategis karena dekat dengan pangkalan militer utama Australia.
Terletak di Australia bagian utara, dekat Asia Tenggara, pelabuhan ini berperan penting dalam kerja sama militer antara AS dan Australia. Setiap tahun, Korps Marinir AS melakukan rotasi enam bulan di wilayah tersebut, dan kedua negara telah banyak berinvestasi untuk memperluas infrastruktur militer di wilayah utara guna memperkuat kemampuan pertahanan kawasan.
Kesepakatan tahun 2015 dengan Landbridge—yang membayar 506 juta dolar Australia (sekitar 329 juta dolar AS) untuk sewa selama 99 tahun—sudah menarik perhatian pemerintah AS pada saat itu. Washington menyatakan keprihatinannya bahwa kontrol Tiongkok atas infrastruktur yang begitu penting bisa mempersulit operasi militer Amerika di Asia-Pasifik.
Tiongkok memiliki kepentingan strategis besar atas Pelabuhan Darwin, kata Prof. James R. Holmes dari US Naval War College kepada BBC pada awal Juni. Kedekatannya dengan rantai pulau pertama (serangkaian gugusan kepulauan utama di Pasifik yang membentang dari daratan Asia Timur) menjadikannya unsur penting dalam pertahanan regional.
Lokasi Darwin yang dekat dengan jalur timur menuju Laut Tiongkok Selatan bisa memungkinkan pasukan sekutu memblokir akses Tiongkok ke jalur laut alternatif menuju Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, khususnya melalui Selat Sunda dan Lombok, tambahnya.
“Memblokade rantai pulau bukan hanya membatasi ruang gerak kekuatan maritim Tiongkok dan mempersempit opsi militer Beijing, tapi juga berdampak negatif pada perekonomiannya. Keunggulan geografis, kekuatan militer, dan aliansi yang kita miliki mencerminkan titik-titik lemah strategis Tiongkok,” ujar Holmes.
Ketegangan yang meningkat
Langkah Australia untuk meninjau ulang sewa Pelabuhan Darwin dan kemungkinan mengambil alih kembali pelabuhan tersebut mencerminkan ketegangan geopolitik yang semakin memanas, sekaligus perubahan arah Canberra terhadap strategi regional. Dengan semakin besarnya pengaruh Tiongkok di Indo-Pasifik, Australia tampak mulai mengevaluasi kembali pendekatan strategisnya.
Australia tengah melakukan penyesuaian strategi yang lebih menyeluruh, tulis penasihat politik Angelos Kaskanis dalam Brussels Morning tanggal 31 Mei.
“Australia sedang menyesuaikan kembali postur strategisnya—bukan sebagai langkah reaktif terhadap ambisi kekuatan lain, tetapi sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk menjaga kedaulatan ekonomi dan infrastruktur pertahanan,” tulis Kaskanis.
“Seiring meningkatnya ketegangan geopolitik dan negara-negara menengah yang semakin tegas dalam menegaskan posisi mereka, Australia dihadapkan pada pilihan yang jelas: tetap berperan sebagai pendukung yang reaktif atau menjadi aktor utama yang menentukan masa depan Indo-Pasifik,” ujarnya.
Untuk mewujudkan pilihan kedua, katanya, Australia harus mengadopsi kebijakan luar negeri yang lebih tegas, meluncurkan inisiatif regional yang lebih kuat, serta berinvestasi dengan cara yang mencerminkan statusnya sebagai negara berdaulat, bukan hanya sebagai sekutu yang setia.