Hiburan

Film tentang Pembantaian Nanjing di Tiongkok picu kontroversi soal sentimen anti-Jepang

Anak-anak yang telah menonton film tersebut mengatakan ingin "membunuh semua orang Jepang" dan "menghajar orang Jepang sampai mati."

Penonton film di Tiongkok mengantre di bawah poster Dead to Rights, yang mendominasi box office domestik, tetapi memicu kontroversi di luar negeri karena pesan nasionalisnya. [CCTV Asia Pacific/Facebook]
Penonton film di Tiongkok mengantre di bawah poster Dead to Rights, yang mendominasi box office domestik, tetapi memicu kontroversi di luar negeri karena pesan nasionalisnya. [CCTV Asia Pacific/Facebook]

Oleh Wu Qiaoxi |

Film-film Tiongkok yang mengangkat kembali penderitaan selama Perang Dunia II menimbulkan kekhawatiran bahwa Beijing sengaja membangkitkan nasionalisme dan semangat anti-Jepang.

Dalam rangka memperingati 80 tahun berakhirnya perang, film Tiongkok Dead to Rights, yang menggambarkan Pembantaian Nanjing meraup lebih dari 2,7 miliar yuan (sekitar US$377,5 juta) dalam waktu satu bulan sejak dirilis pada bulan Juli.

Pembantaian tersebut berlangsung dari Desember 1937 hingga Januari 1938. Tentara pendudukan Jepang membunuh ratusan ribu warga Tiongkok dan memperkosa sejumlah besar perempuan dan anak perempuan, yang jumlah pastinya tidak diketahui.

Film tersebut menduduki puncak box office musim panas di Tiongkok. Namun, lonjakan film-film serupa membuat para pengamat khawatir tentang apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh pemerintah di Beijing.

Sebuah cuplikan dari video berita lokal memperlihatkan anak laki-laki berusia sembilan tahun di Henan, Tiongkok, bersama adik perempuannya, dengan marah merobek koleksi kartu anime Jepang kesayangannya setelah menonton film tersebut. Kedua anak itu mengulang kalimat terkenal dari film itu: "Sejengkal pun tanah luas kita tidak akan diserahkan." [Sohu News]
Sebuah cuplikan dari video berita lokal memperlihatkan anak laki-laki berusia sembilan tahun di Henan, Tiongkok, bersama adik perempuannya, dengan marah merobek koleksi kartu anime Jepang kesayangannya setelah menonton film tersebut. Kedua anak itu mengulang kalimat terkenal dari film itu: "Sejengkal pun tanah luas kita tidak akan diserahkan." [Sohu News]

Mulai Agustus, film tersebut akan tayang di luar negeri, di kawasan Asia-Pasifik, Amerika Utara, dan wilayah lainnya.

Menurut Xinhua, Dead to Rights didasarkan pada kisah nyata seorang pemagang studio foto di Nanjing yang, saat mencetak foto untuk perwira Jepang, menemukan gambar-gambar kekejaman.

Dia mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan foto-foto yang kemudian menjadi bukti terhadap kejahatan para penjahat perang Jepang dan kini disimpan di Arsip Sejarah Kedua Tiongkok.

Anak-anak dan orang dewasa meledak dalam kemarahan.

Penggambaran kejahatan perang Jepang dalam film tersebut memicu gelombang baru sentimen anti-Jepang.

Video yang beredar di media sosial menampilkan penonton berdiri dengan mata berkaca-kaca setelah pemutaran film dan, dipicu oleh provokator di atas panggung, meneriakkan kalimat terkenal dari film itu: "Sejengkal pun tanah luas kita tidak akan diserahkan."

Banyak orang tua membawa anak-anaknya menonton film ini untuk memberikan "pendidikan patriotik." Namun, beberapa anak justru mengalami gangguan emosional, menangis kepada ibu mereka, "Aku ingin membunuh semua orang Jepang."

Anak-anak usia sekolah terdengar berteriak, "Aku benci orang Jepang! Saat dewasa nanti, aku ingin bergabung dengan tentara dan menembak mereka semua!" atau "Aku ingin memukul orang Jepang sampai mati!"

Xinhua, mengutip laporan lokal dari Henan, Tiongkok, menggambarkan bagaimana seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun, setelah menonton film tersebut, merobek koleksi kartu anime Jepang kesayangannya. Artikel tersebut kini sudah tidak dapat ditemukan di situs web Xinhua.

Berbagai reaksi tersebut membuat banyak netizen mempertanyakan apakah film ini menyebarkan kebencian. Pada 31 Juli, Global Times menerbitkan editorial yang mengecam kritik semacam itu. Editorial tersebut mengecam "perundungan dunia maya" terhadap film ini.

Namun, pada hari yang sama, "warga negara Jepang yang sedang berjalan bersama anaknya terkena sesuatu yang diduga batu oleh pelaku tak dikenal di dalam stasiun bawah tanah... Suzhou," kata Kedutaan Besar Jepang di Beijing dalam sebuah pernyataan.

Polisi menangkap seorang tersangka, kata Kementerian Luar Negeri Tiongkok kepada AFP.

Pola serangan terhadap orang Jepang

Ini bukan satu-satunya serangan terhadap warga Jepang di Tiongkok.

Pada bulan Juni 2024, seorang lelaki bersenjatakan pisau melukai ibu Jepang dan anaknya, serta membunuh perempuan Tiongkok di pemberhentian bus di Suzhou. Perempuan itu adalah petugas bus yang seharusnya dinaiki oleh anak Jepang tersebut untuk pergi ke sekolahnya. Ia berusaha menghentikan pelaku.

Setelahnya, pada bulan September itu, seorang lelaki menusuk anak laki-laki Jepang dalam perjalanannya ke sekolah di Shenzhen. Anak itu menunggal pada keesokan harinya.

Beberapa film patriotik dengan tema serupa dengan Dead to Rights baru-baru ini dirilis atau akan tayang pada tanggal-tanggal yang memiliki makna khusus.

Misalnya, Mountains and Rivers Bearing Witness dan Scholars under Fire telah dirilis tanggal 15 Agustus, hari peringatan penyerahan diri Jepang.Against All Odds dijadwalkan akan dirilis tanggal 3 September, hari peringatan kemenangan Republik Tiongkok dalam perang melawan Jepang pada tahun 1945.731 dijadwalkan akan dirilis tanggal 18 September, hari peringatan Insiden Mukden tahun 1931.

Media resmi mempromosikan film-film ini sebagai "menyoroti semangat besar Perang Melawan Penjajahan ... yang didasarkan pada peristiwa sejarah nyata."

Cepatnya rilis berbagai film ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya kekerasan terhadap orang Jepang.

Akio Yaita, wartawan Jepang yang berbasis di Taiwan, menulis di X bahwa teman-teman Jepang-nya yang tinggal di Tiongkok telah memperingatkan kerabat dan teman mereka: "Sebaiknya jangan datang ke Tiongkok dalam waktu dekat. Bahkan di Jepang pun, sebaiknya hindari tempat-tempat dengan populasi orang Tiongkok yang besar."

Mendorong nasionalisme

Media negara Tiongkok sedang membangun suasana "anti-Jepang" di seluruh penjuru negeri bersamaan dengan parade militer yang akan digelar pada 3 September untuk memperingati 80 tahun kemenangan Tiongkok atas Jepang, ujar Yaita.

Film-film seperti Dead to Rights mencerminkan "hasutannasionalisme sempit oleh pemimpin Tiongkok Xi Jinping sejak berkuasa," kata komentator politik Lin Pao-hua, menurut Liberty Times.

"[Kita] seharusnya menghadapi fakta sejarah secara rasional dan menghindari upaya melebih-lebihkan, sensasionalisme, serta penyajian yang menyesatkan," kata Lee Hsiao-feng, profesor emeritus di National Taipei University of Education, dalam unggahan di Facebook.

Beijing telah memperkuat kampanye propagandanya untuk mengusung "pandangan yang benar" tentang Perang Dunia II, menggambarkan Tiongkok dan Uni Soviet sebagai pemenang yang menentukan hasil perang, lapor Reuters pada 22 Agustus.

Perjuangan Tiongkok selama perang telah "diabaikan dan diremehkan secara selektif," sementara peran Partai Komunis Tiongkok (PKT) "sengaja diperkecil dan dicemarkan," menurut sebuah komentar di People's Daily.

Sementara itu, Mainland Affairs Council (MAC) Taiwan menuduh Beijing "berulang kali memutarbalikkan fakta" sejarah perang, menegaskan Republik Rakyat Tiongkok "sama sekali belum ada" selama perang Republik Tiongkok melawan Jepang.

PKT secara keliru mengklaim mereka memimpin perlawanan dan bahkan menggunakan narasi tersebut untuk menegaskan Taiwan adalah bagian dari Tiongkok, kata Ketua MAC, Chiu Chui-cheng.

MAC melarang pejabat Taiwan dan personel keamanan nasional untuk ikut serta dalam parade Beijing pada 3 September.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *