Diplomasi

Perdamaian Kamboja–Thailand menjadi ujian bagi diplomasi ASEAN

Mediasi Malaysia mencerminkan peran ASEAN yang kian berpengaruh di kawasan, tetapi perdamaian jangka panjang bergantung pada komitmen kedua pihak. Tiongkok tampak absen dari proses perundingan tersebut.

Presiden AS Donald Trump (kanan) bertepuk tangan ketika PM Thailand Anutin Charnvirakul (kedua kiri) berjabat tangan dengan PM Kamboja Hun Manet (kedua kanan) dalam penandatanganan perjanjian gencatan senjata antara Kamboja dan Thailand di sela KTT ASEAN ke-47 di Kuala Lumpur, 26 Oktober. PM Malaysia Anwar Ibrahim tampak di sisi kiri. [Andrew Caballero-Reynolds/AFP]
Presiden AS Donald Trump (kanan) bertepuk tangan ketika PM Thailand Anutin Charnvirakul (kedua kiri) berjabat tangan dengan PM Kamboja Hun Manet (kedua kanan) dalam penandatanganan perjanjian gencatan senjata antara Kamboja dan Thailand di sela KTT ASEAN ke-47 di Kuala Lumpur, 26 Oktober. PM Malaysia Anwar Ibrahim tampak di sisi kiri. [Andrew Caballero-Reynolds/AFP]

Oleh Wu Qiaoxi |

Berkat mediasi Malaysia dan dukungan AS, pemimpin Thailand dan Kamboja menandatangani Kesepakatan Damai Kuala Lumpur saat KTT ASEAN berlangsung — sebuah langkah besar bagi diplomasi regional.

Jika berhasil, kesepakatan tersebut akan mengakhiri konflik yang pecah sejak bulan Februari dan sempat memanas lagi pada bulan Mei dan Juli.

Penandatanganan berlangsung di Kuala Lumpur tanggal 26 Oktober. Pengamat menilai kesepakatan itu merupakan versi yang lebih kuat dari perjanjian gencatan senjata yang dicapai pada akhir Juli.

Thailand akan membebaskan 18 tentara Kamboja yang ditahan sejak bentrokan Juli lalu, menurut laporan The Star Malaysia tanggal 5 November.

Foto yang diambil dan dirilis oleh Agence Kampuchea Presse pada 20 Agustus ini menunjukkan personel militer Kamboja dan pihak asing saat kunjungan yang diadakan Kementerian Pertahanan Kamboja di Candi Preah Vihear, Provinsi Preah Vihear, setelah konflik perbatasan Kamboja–Thailand. Sengketa lama di perbatasan kedua negara Asia Tenggara itu kembali pecah pada bulan Juli, menimbulkan bentrokan artileri, serangan udara, dan pertempuran darat yang menewaskan sedikitnya 48 orang dan mengungsikan lebih dari 300.000 warga. [Pool/AFP]
Foto yang diambil dan dirilis oleh Agence Kampuchea Presse pada 20 Agustus ini menunjukkan personel militer Kamboja dan pihak asing saat kunjungan yang diadakan Kementerian Pertahanan Kamboja di Candi Preah Vihear, Provinsi Preah Vihear, setelah konflik perbatasan Kamboja–Thailand. Sengketa lama di perbatasan kedua negara Asia Tenggara itu kembali pecah pada bulan Juli, menimbulkan bentrokan artileri, serangan udara, dan pertempuran darat yang menewaskan sedikitnya 48 orang dan mengungsikan lebih dari 300.000 warga. [Pool/AFP]

Kamboja diwajibkan menarik artileri dan sistem roket dari perbatasan dalam fase pertama perjanjian demiliterisasi.

Kesepakatan itu terwujud berkat kerja sama diplomatik antara ASEAN dan Amerika Serikat.

Peran Malaysia dalam menjembatani konflik

Malaysia, selaku ketua ASEAN tahun 2025, memprakarsai beberapa putaran negosiasi tertutup dan memperoleh dukungan bulat untuk memimpin mediasi. Perdana Menteri Anwar Ibrahim menyebut gencatan senjata itu sebagai “bukti konkret kekuatan diplomasi ASEAN,” lapor Malay Mail.

Jabatan ketua ASEAN berpindah setiap tahun.

Seiring meningkatnya ketegangan antara Kamboja dan Thailand, Malaysia muncul sebagai mediator alami.

“Mereka sepenuhnya percaya pada Malaysia dan meminta saya menjadi mediator,” kata Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Mohamad Hasan pada bulan Juli, usai berbicara dengan Menteri Luar Negeri Kamboja dan Thailand, yang setuju negara lain tidak perlu dilibatkan dalam masalah ini.

Berdasarkan Pasal 23 Piagam ASEAN, ketua dapat menyediakan “fasilitas diplomatik, konsiliasi, atau mediasi,” tetapi hanya jika semua pihak menyetujuinya. Setia pada prinsip non-intervensi ASEAN, Malaysia menunggu hingga kedua pihak secara resmi meminta mediasi sebelum mengambil peran memimpin.

Konflik lama kembali memanas

Konflik ini menewaskan sedikitnya 48 orang dan mengungsikan sekitar 300.000 orang, menjadi salah satu krisis perbatasan terburuk antara kedua negara tetangga baru-baru ini. Konflik ini dimulai pada bulan Februari, ketika polisi Thailand dilaporkan menghentikan wisatawan Kamboja yang ingin menyanyikan lagu kebangsaan di Candi Prasat Ta Moan Thom. Bentrokan bersenjata pecah pada bulan Mei, dan kekerasan segera meningkat.

Pada akhir Juli, setelah lima hari bentrokan hebat di perbatasan, mediasi Malaysia yang mendapat dukungan AS berhasil menghadirkan kedua pihak ke meja perundingan. Kedua negara menandatangani gencatan senjata sementara tanggal 28 Juli.

Ketentuan utama dalam perjanjian damai bulan Oktober mencakup de-eskalasi militer, penarikan senjata berat, pembentukan Tim Pengamat ASEAN untuk memantau proses pelepasan pasukan, operasi pembersihan ranjau, serta pembebasan para tawanan perang.

PM Thailand Anutin Charnvirakul mengatakan kesepakatan ini menunjukkan “keinginan kami menyelesaikan perbedaan secara damai dengan menghormati penuh kedaulatan dan integritas wilayah.” PM Kamboja Hun Manet menegaskan sengketa “harus diselesaikan secara damai, meski masalahnya sulit atau kompleks.”

Tantangan regional tetap ada, Tiongkok tidak hadir

Penandatanganan ini menandai tonggak diplomatik bagi ASEAN, tetapi pelaksanaannya bergantung pada dinamika politik domestik dan kawasan, kata para analis.

Menurut Abdul Rahman Yaacob, pakar keamanan di Australian National University di Canberra, Thailand dan Kamboja sering melanggar gencatan senjata sebelumnya, dan bentrokan sesekali antara warga desa dengan aparat keamanan menunjukkan ketegangan terus berlangsung, seperti dilaporkan South China Morning Post (SCMP).

Ia menyoroti ketiadaan Tiongkok yang mencolok dalam proses tersebut.

Meski menjadi pemasok senjata terbesar bagi kedua negara, Tiongkok tidak mampu memberikan tekanan yang signifikan. “Kamboja berharap Tiongkok bisa mendorong Thailand untuk menghentikan pertempuran,” katanya.

Dalam KTT Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Seoul pada 31 Oktober, PM Anwar dari Malaysia menyebut kesepakatan itu sebagai simbol meningkatnya kapasitas diplomatik ASEAN. “Penyelesaian yang didasarkan pada dialog, bukan kekuatan, adalah satu-satunya jalan menuju perdamaian sejati,” ujarnya.

Menurut Thitinan Pongsudhirak, profesor ilmu politik di Chulalongkorn University di Bangkok, motif politik dalam negeri berpotensi memicu kembali nasionalisme dan ketegangan perbatasan, seperti dilaporkan South China Morning Post (SCMP).

Perbatasan yang disengketakan itu “berlubang dan panjang” sehingga memerlukan pengawasan yang luas, ujar Yaacob, pakar asal Australia, kepada South China Morning Post (SCMP).

“Diperlukan banyak pengamat untuk mengawasi situasi serta mendukung upaya perdamaian dan penyelesaian sengketa perbatasan,” kata Yaacob, seraya memperingatkan bahwa tanpa komitmen berkelanjutan dari ASEAN dalam hal personel dan sumber daya, implementasi kesepakatan akan menjadi tantangan jangka panjang.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *