Oleh Wu Qiaoxi dan AFP |
GYEONGJU, Korea Selatan -- Perdana menteri baru Jepang dan pemimpin lama Tiongkok menggelar pertemuan pertama mereka, di mana keduanya mengungkapkan sejumlah perbedaan pandangan.
Sanae Takaichi mengatakan pada 31 Oktober bahwa ia menyampaikan “keprihatinan serius” terkait Laut Tiongkok Selatan, Hong Kong, dan Xinjiang dalam pertemuan pertamanya dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping, menegaskan upaya kedua pihak untuk membuka dialog meski terdapat perbedaan mendalam.
Kedua pemimpin bertemu di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Korea Selatan, yang menjadi pertemuan tatap muka pertama antara keduanya.
Takaichi mengatakan kepada para wartawan bahwa ia menginginkan “hubungan yang strategis dan saling menguntungkan antara Jepang dan Tiongkok,” tetapi menekankan “penting bagi kami untuk menjalin dialog langsung dan terbuka.”
![Foto ini memperlihatkan Presiden Tiongkok Xi Jinping (kiri) dan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi (kanan) saling bertukar pandangan tegas mengenai isu keamanan, Laut Tiongkok Selatan, dan Taiwan. Dalam pertemuan itu, Takaichi menyampaikan keprihatinan Jepang, sementara Xi menyerukan “pemahaman yang benar tentang Tiongkok.” [Andrew Caballero-Reynolds/AFP]](/gc9/images/2025/10/31/52626-afp__20251031__82lp8g3__v1__highres__comboskoreaapecdiplomacychinajapan-370_237.webp)
Takaichi menjabat sebagai Perdana Menteri pada 21 Oktober.
Kata-kata tegas terhadap Xi
“Kami… menyampaikan keprihatinan serius terkait tindakan di Laut Tiongkok Selatan, serta situasi di Hong Kong dan Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang,” kata Takaichi, merujuk pada sengketa wilayah dan pembatasan hak asasi manusia terhadap warga Hong Kong dan Xinjiang oleh Tiongkok.
Menurut Kantor Berita Xinhua milik pemerintah Tiongkok, Xi mengatakan kepada Takaichi bahwa ia berharap pemerintah barunya memiliki “pemahaman yang benar tentang Tiongkok” dan mematuhi “arah umum hubungan bilateral yang damai, bersahabat, dan kooperatif.”
Takaichi mengatakan ia mengangkat sejumlah isu sensitif, termasuk Kepulauan Senkaku yang dikelola Jepang—dikenal di Tiongkok sebagai Diaoyu—di mana kapal kedua negara kerap bersinggungan di Laut Tiongkok Timur. Ia menyebut telah membahas dengan Xi permasalahan kontrol ekspor bahan tanah jarang yang penting bagi banyak industri dan mendesak pembebasan warga Jepang yang ditahan di Tiongkok, serta meminta jaminan keselamatan bagi ekspatriat Jepang.
“Saya menyampaikan bahwa kami ingin masalah-masalah tersebut ditangani,” kata Takaichi.
Topik Taiwan juga dibahas, kata Takaichi. “Mengenai Taiwan, ada beberapa pembahasan dari pihak Tiongkok,” ujarnya. “Saya menyatakan penting untuk menjaga hubungan lintas Selat yang baik demi stabilitas dan keamanan di kawasan ini.”
Beijing berulang kali mengecam laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Uighur di wilayah Xinjiang, dengan alasan kebijakan mereka berhasil memberantas ekstremisme dan meningkatkan pembangunan ekonomi. Tiongkok juga mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh Laut Tiongkok Selatan, meskipun putusan tribunal internasional tahun 2016 menolak klaim tersebut.
Sebelum pertemuan, para analis memperkirakan akan terjadi pertemuan perkenalan yang dingin, mengingat Xi belum mengirimkan ucapan selamat kepada Takaichi setelah menjabat.
“Namun, secara keseluruhan, stabilitas tetap menjadi prioritas bersama,” kata Yee Kuang Heng, profesor di Sekolah Pascasarjana Kebijakan Publik di University of Tokyo, kepada AFP.
Pengkritik keras Tiongkok
Takaichi, wanita perdana menteri pertama Jepang, dikenal sebagai pengkritik keras Tiongkok dan pendorong peningkatan belanja pertahanan yang signifikan.
Sebagai pengunjung rutin Kuil Yasukuni, yang menghormati para pahlawan perang Jepang—termasuk terpidana perang—Takaichi sering memicu kemarahan Tiongkok dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut pernah menderita kekejaman yang dilakukan oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II atau sebelumnya.
Ia dilantik tanggal 21 Oktober bersama “Kabinet Kemajuan Nyata,” berjanji mendorong reformasi pertahanan, memperdalam aliansi Jepang–AS, dan memperkuat peran Tokyo di kawasan Indo-Pasifik.
Ia dipandang sebagai tokoh yang melanjutkan warisan politik almarhum Shinzo Abe dan mendorong Jepang untuk merevisi konstitusinya guna memperkuat Pasukan Bela Dirinya.
Takaichi sebelumnya pernah mengatakan Tokyo harus “menghadapi ancaman keamanan” yang ditimbulkan oleh Beijing.
Namun, sejak menjadi pemimpin Partai Demokrat Liberal, tak lama sebelum menjabat sebagai perdana menteri, ia menghindari kunjungan ke Kuil Yasukuni saat festival besar.
Pandangan Takaichi yang pro-Taiwan sudah dikenal luas. Saat berkampanye untuk kepemimpinan partai, ia mengatakan kepada Hudson Institute, lembaga think tank AS, bahwa “perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan” menjadi perhatian besar bagi Jepang dan menegaskan “perubahan sepihak atas status quo melalui kekerasan atau paksaan tidak boleh terjadi.” Ia menyebut Taiwan sebagai “mitra yang sangat penting dan sahabat yang berharga” yang memiliki nilai-nilai fundamental yang sama dengan Jepang serta hubungan ekonomi dan budaya yang erat.
Mempererat kerja sama dengan AS
Takaichi berjanji untuk memperkuat kerja sama pertahanan Jepang dengan Washington. “Aliansi Jepang–AS merupakan fondasi kebijakan luar negeri dan keamanan Jepang serta landasan bagi perdamaian dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik,” ujarnya kepada Hudson Institute.
Sekitar 60.000 personel militer AS ditempatkan di Jepang. Hanya beberapa hari sebelum pertemuannya dengan Xi, Takaichi menjamu Presiden AS Donald Trump di atas kapal induk Amerika, di mana kedua pemimpin menyampaikan pidato yang menekankan pentingnya aliansi kedua negara.
Setelah menjabat, ia mengumumkan Jepang akan meningkatkan belanja pertahanan hingga 2% PDB pada tahun anggaran ini, dua tahun lebih cepat dari jadwal semula.
Pertemuan pertama Takaichi dengan Xi, meskipun digambarkan sebagai pertemuan yang jujur, namun, mengisyaratkan bahwa baik Tokyo maupun Beijing berupaya menstabilkan hubungan setelah ketegangan bertahun-tahun lamanya.
Kebangkitan “Wanita Besi” Jepang menandakan langkah Tokyo menuju strategi diplomasi dan keamanan yang lebih proaktif dan tegas di kawasan Indo-Pasifik, yang akan terus menguji hubungan Tiongkok–Jepang dalam beberapa bulan mendatang.
![Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi (kiri) berjabat tangan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping menjelang KTT Jepang–Tiongkok di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Gyeongju, Korea Selatan, pada 31 Oktober. [Japan Pool/Jiji Press/AFP]](/gc9/images/2025/10/31/52625-afp__20251031__82lg8f7__v5__highres__skoreapoliticsapec-370_237.webp)