Media

Upaya "reunifikasi damai" Beijing dimaksudkan untuk mengokohkan narasi "Taiwan milik Tiongkok"

Tiongkok melancarkan serangkaian kampanye hukum dan propaganda yang terkoordinasi untuk mengusung narasi "reunifikasi damai" dengan Taiwan, dan para analis memperingatkan langkah ini bertujuan menormalisasi pengikisan hak-hak.

Seorang pengunjung memegang payung berwarna bendera Taiwan di Taoyuan pada 8 Oktober 2025. Beijing semakin mengintensifkan kampanye “reunifikasi damai” dan memperkuat klaimnya bahwa Taiwan “milik Tiongkok.” [I-Hwa Cheng/AFP]
Seorang pengunjung memegang payung berwarna bendera Taiwan di Taoyuan pada 8 Oktober 2025. Beijing semakin mengintensifkan kampanye “reunifikasi damai” dan memperkuat klaimnya bahwa Taiwan “milik Tiongkok.” [I-Hwa Cheng/AFP]

Oleh Chen Meihua |

Beijing semakin menguatkan retorika tentang “reunifikasi damai” dengan Taiwan, dengan melancarkan kampanye hukum, media, dan psikologis yang terkoordinasi untuk menegaskan klaim pulau tersebut “milik Tiongkok.”

Pada 26–28 Oktober, kantor berita resmi Tiongkok, Xinhua, menerbitkan seri tiga bagian dengan nama pena Zhong Taiwen, yang menegaskan Taiwan secara hukum adalah bagian dari Tiongkok dan reunifikasi “tak terhindarkan.” Seri tersebut dirilis setelah peringatan 80 tahun kembalinya Taiwan dan menjelang pertemuan Trump–Xi.

Dalam persiapan sebelumnya, Beijing merilis makalah posisi mengenai Resolusi Majelis Umum PBB 2758, meluncurkan laman Facebook beraksara Mandarin tradisional untuk menarik pengguna Taiwan, serta mendeklarasikan 25 Oktober sebagai “Hari Peringatan Restorasi Taiwan”, serta menampilkan penasihat politik terkemuka Wang Huning yang mempromosikan “tujuh perbaikan setelah reunifikasi,”—semuanya menandakan adanya mobilisasi besar dalam kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan.

Artikel pertama dalam seri Xinhua meninjau dokumen-dokumen masa perang seperti Deklarasi Kairo dan Deklarasi Potsdam untuk mengklaim “status Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok sudah ditetapkan.” Artikel tersebut juga kembali menafsirkan secara keliru Resolusi 2758, dengan bersikeras resolusi itu membuktikan “Taiwan milik Tiongkok.”

Tangkapan layar menunjukkan laman Facebook Kantor Urusan Taiwan (TAO) Tiongkok, yang baru-baru ini membuka akun tersebut untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan upaya propagandanya terhadap publik di Taiwan. [TAO/Facebook]
Tangkapan layar menunjukkan laman Facebook Kantor Urusan Taiwan (TAO) Tiongkok, yang baru-baru ini membuka akun tersebut untuk memperluas jangkauan dan meningkatkan upaya propagandanya terhadap publik di Taiwan. [TAO/Facebook]
Warga menari massal di samping bendera raksasa Tiongkok di Huai’an, Provinsi Jiangsu, pada 16 November 2025. Dalam beberapa waktu terakhir, Tiongkok semakin gencar menyampaikan pesan-pesan patriotik sebagai bagian dari upaya mempromosikan “reunifikasi damai” dengan Taiwan. [He Jinghua/CFOTO via AFP]
Warga menari massal di samping bendera raksasa Tiongkok di Huai’an, Provinsi Jiangsu, pada 16 November 2025. Dalam beberapa waktu terakhir, Tiongkok semakin gencar menyampaikan pesan-pesan patriotik sebagai bagian dari upaya mempromosikan “reunifikasi damai” dengan Taiwan. [He Jinghua/CFOTO via AFP]

Artikel kedua menjanjikan bahwa setelah “reunifikasi,” “institusi sosial dan cara hidup Taiwan saat ini akan dihormati,” sembari menegaskan Beijing akan menerapkan prinsip “patriot memerintah Taiwan.” Artikel tersebut juga menyatakan “anggaran pertahanan tidak lagi akan digunakan untuk ‘separatisme kemerdekaan Taiwan’” dan meyakinkan masyarakat di kedua sisi selat dapat menghindari “risiko perang” serta menikmati kehidupan yang lebih baik.

"Pemaksaan dengan kekuatan"

“Kami telah berhasil meningkatkan kesejahteraan 1,4 miliar warga kami—dan tentu saja mampu membangun masa depan yang lebih baik bersama saudara-saudara kami di Taiwan,” tulis artikel tersebut.

Artikel ketiga menyatakan “satu-satunya jalan bagi Taiwan adalah reunifikasi sepenuhnya dengan tanah air,” sambil mendesak kedua belah pihak untuk “duduk bersama, berdialog, dan merumuskan model ‘dua sistem’ yang masuk akal bagi Taiwan.”

Chen Fang-yu, profesor madya ilmu politik di Soochow University, mengatakan kepada Focus bahwa rangkaian artikel Xinhua menyampaikan dua pesan utama: menegaskan bahwa Taiwan merupakan bagian sah dari Tiongkok, serta memperbarui seruan untuk “reunifikasi damai.” Menerima narasi ini, ujarnya, berarti melihat unifikasi sebagai cara untuk “menyelesaikan masalah Taiwan,” sementara menolaknya akan dipandang sebagai alasan bagi Beijing untuk menggunakan bentuk-bentuk pemaksaannya sendiri.

Chen menegaskan Taiwan tidak pernah diperintah oleh Republik Rakyat Tiongkok. Namun, kini Beijing mengklaim “masyarakat Taiwan telah bercita-cita menjadi warga Tiongkok sejak tahun 1895, dan Partai Komunis Tiongkok "mewarisi" Taiwan pada tahun 1949”—narasi yang ia sebut “bertentangan dengan fakta.”

Narasi yang salah

Raymond Chen-En Sung, anggota dewan di Taiwan National Security Institute, menyebut seri tersebut sebagai bentuk “perang retorika” dan “perang hukum” yang sarat celah. Sementara itu, Chen Li-fu dari Asosiasi Pertukaran Generasi Muda Taiwan menggambarkan semua argumennya dipenuhi kekeliruan logika.

Chen Li-fu mengatakan kondisi domestik Tiongkok justru bertentangan dengan janji-janji dalam artikel Xinhua. Ia menunjuk pada data resmi tahun 2023 yang menunjukkan masih ada ratusan juta orang berpendapatan kurang dari 1.000 yuan (US$141) per bulan.

Sung berpendapat Taiwan jauh lebih unggul dibanding Tiongkok dalam hal kualitas hidup dan perlindungan hak, serta unifikasi hanya akan berarti “penurunan hak” bagi masyarakat Taiwan.

Kementerian Luar Negeri Taiwan dan American Institute di Taiwan (AIT) telah berulang kali membantah narasi Beijing. Menteri Luar Negeri Lin Chia-lung mengatakan pada bulan Juli bahwa Traktat San Francisco, yang memiliki kekuatan hukum internasional, menggantikan Deklarasi Kairo dan Deklarasi Potsdam setelah Perang Dunia II, serta menegaskan “Republik Rakyat Tiongkok tidak pernah memerintah Taiwan.” Pada bulan Oktober, kementerian kembali mengecam Tiongkok karena mendistorsi Resolusi 2758 dan menyesatkan opini dunia internasional.

Amerika Serikat juga mendukung posisi Taipei. Pada bulan September, juru bicara AIT mengatakan Beijing memutarbalikkan dokumen-dokumen sejarah untuk membenarkan pemaksaan terhadap Taiwan dan narasi tersebut “keliru,” seraya menegaskan dokumen-dokumen itu tidak pernah menetapkan status politik final Taiwan.

Sung mengatakan komentar-komentar Xinhua tidak meyakinkan, tetapi mencerminkan rencana Beijing untuk membanjiri wacana publik dan mengokohkan narasinya melalui propaganda dan kecerdasan buatan. Perang psikologis ini, ujarnya, dimaksudkan untuk melemahkan tekad masyarakat Taiwan untuk melawan dan membuat mereka meyakini “perlawanan sia-sia atau terlalu mahal,” sehingga membuka jalan bagi unifikasi.

Artikel-artikel tersebut menyatakan anggaran pertahanan akan dialihkan dari “kemerdekaan Taiwan” ke program-program sosial — sebuah pemikiran yang oleh Chen Li-fu disebut sebagai tuntutan agar Taiwan “menurunkan senjatanya dan menyerah.”

Seri tersebut juga menjanjikan penerapan kerangka “pemerintahan oleh patriot” di Taiwan setelah unifikasi. Chen Fang-yu mengatakan hal itu merupakan perluasan dari model “patriot memerintah Hong Kong” versi Beijing, yang pada praktiknya menuntut loyalitas terhadap Partai Komunis Tiongkok di atas segalanya. “Pada akhirnya, ‘solusi Taiwan’ ini tetap berarti satu negara, satu sistem,” ujarnya.

Dewan Urusan Daratan (MAC) Taiwan mengecam keras apa yang mereka sebut sebagai upaya Beijing untuk mengubah Taiwan menjadi “Hong Kong berikutnya.” MAC menegaskan pengalaman Hong Kong menunjukkan apa yang disebut patriot pada dasarnya hanyalah loyalis yang disetujui Partai Komunis, sementara orang-orang yang tidak mendapat persetujuan dapat kehilangan hak berpartisipasi dalam politik atau bahkan menghadapi penindasan.

Apakah Anda menyukai artikel ini?

Policy Link

Captcha *