Oleh Wu Qiaoxi |
Jepang bersiap untuk melakukan uji coba gali logam tanah jarang di laut dalam di dekat Minamitorishima (Pulau Marcus) pada Januari 2026, langkah yang dipandang sebagai upaya strategis untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan dari Tiongkok di tengah meningkatnya kecemasan dunia atas ketahanan mineral kritis.
Lokasi yang berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif Jepang ini diperkirakan menampung sekitar 230 juta ton lumpur kaya logam tanah jarang. Cadangan tersebut dapat memenuhi kebutuhan kobalt Jepang selama 75 tahun dan permintaan nikel selama sekitar 11 tahun, demikian laporan Nikkei Asia tanggal 24 Juni.
Pengujian ini akan dilakukan oleh kapal tambang ilmiah Chikyu, yang akan mengambil endapan dasar laut dari kedalaman 5.500 meter -- uji coba terdalam yang pernah ada.
Jepang adalah satu-satunya negara yang melakukan penambangan dasar laut berskala komersial untuk logam tanah jarang, yang sangat penting untuk kendaraan listrik, turbin angin, dan barang elektronik canggih.
![Gambar ini menunjukkan Pulau Minami-Torishima dan Zona Ekonomi Eksklusif serta lokasi yang kaya dengan logam tanah jarang (titik-titik merah). [Tokyo University]](/gc9/images/2025/07/08/51102-rare_earth_map-370_237.webp)
"Sasarannya adalah mengamankan pasokan dalam negeri guna meningkatkan keamanan nasional, alih-alih membiarkan perusahaan swasta meraup keuntungan dari penjualan logam tanah jarang," kata Shoichi Ishii, direktur program platform nasional pengembangan lautan inovatif di bawah Kantor Kabinet, kepada Reuters pada bulan Juli.
Apabila berhasil, uji coba ini dapat menjadi terobosan dalam strategi jangka panjang Jepang untuk mengembangkan pasokan alternatif mineral kritis, yang semakin dipandang sebagai aset ekonomi dan alat pengaruh di bidang geopolitik.
Prakarsa Jepang ini bagian dari upaya internasional yang lebih luas untuk mengurangi ketergantungan mineral kritis pada Tiongkok.
Kyodo News pada 1 Juli melaporkan bahwa menteri-menteri luar negeri Jepang, Amerika Serikat, Australia, dan India, yang disebut Quad Group, mengumumkan prakarsa baru untuk meningkatkan kerja sama rantai pasokan mineral.
"Kami sangat prihatin dengan penyempitan mendadak dan keandalan rantai pasok utama di masa depan, khususnya untuk mineral kritis," kata para menteri Quad Group dalam pernyataan bersama.
"Ketergantungan pada satu negara untuk pengolahan dan pemurnian mineral kritis serta produksi barang turunannya membuat industri kami rentan terhadap pemaksaan ekonomi, manipulasi harga, dan gangguan rantai pasokan, yang akan membahayakan ketahanan ekonomi dan keamanan nasional kami," mereka menambahkan.
Pengumuman ini menyusul komitmen serupa yang dibuat di KTT G7 di Kanada pada bulan Juni. Para pemimpin dunia berjanji untuk meningkatkan standar lingkungan dan ketelusuran serta mendukung investasi pada produksi dan pengolahan mineral.
Memperluas risiko
Cengkeraman Tiongkok terhadap logam tanah jarang semakin erat belakangan ini. Pada bulan April, Tiongkok mengumumkan pembatasan ekspor dan persyaratan perizinan terhadap tujuh logam tanah jarang dan produk-produk terkait dengan magnet.
Kini pembatasan itu secara tidak resmi menjangkau benda-benda yang tidak ada dalam daftar pelarangan.
Kebijakan baru ini memicu penundaan yang tidak terduga di seluruh industri yang bergantung pada bahan dari Tiongkok, dari barang elektronik hingga pertahanan.
"Selama benda itu mengandung satu kata sensitif [seperti magnet], pabean tidak akan melepaskannya -- hal itu akan memicu proses inspeksi, dan begitu dimulai, dapat memakan waktu satu hingga dua bulan," ujar seorang tenaga penjual di eksportir magnet Tiongkok kepada Financial Times pada 30 Juni.
"Contohnya, batang titanium dan tabung zirkonium juga ditahan," ujar tenaga penjual itu. "Benda yang sebenarnya dikendalikan adalah bubuk titanium. Sementara batang dan tabung kami tidak ada dalam daftar pengendalian, tetapi tetap saja belum mendapatkan izin."
Seorang pejabat Eropa, yang berbicara dengan Reuters secara anonim pada 29 Juni, mengatakan Tiongkok hanya menerbitkan izin dalam jumlah "seminimal mungkin" untuk mencegah penghentian produksi di Eropa.
Namun, penundaan masih terjadi, terutama untuk produk yang disalurkan lewat negara ketiga seperti India atau pihak yang terkait dengan pengguna akhir di AS.
Kritisi menyebut rezim perizinan Tiongkok "sangat invasif", mensyaratkan perusahaan mengirim deklarasi penggunaan akhir yang sangat terperinci, rencana produksi, data pelanggan, bahkan foto-foto fasilitasnya.
"Ini lebih dari sekadar perizinan -- ini pengawasan persaingan," tulis Dewardric McNeal, managing director dan analis kebijakan senior di Longview Global, di CNBC.com pada 29 Juni.
Tiongkok mendominasi pasar logam tanah jarang, dengan pangsa 70% dari penambangan global dan lebih dari 90% pemurnian, serta memproduksi 92% magnet neodimium-besi-boron vital yang digunakan dalam teknologi utama.
Kendati Amerika Serikat dan Jepang berupaya mendiversifikasi pasokan, para pengamat memperingatkan bahwa rantai pasok dunia masih sangat rentan terhadap ekspansi dan investasi cepat Tiongkok di sektor tersebut.